Powered By Blogger

Kamis, 01 Agustus 2013

LOVASKET 1

Luna Torashyngu

LOVASKET

TIGA
PESTA ulang tahun sepupu Diana berlangsung di Indiana, sebuah kafe yang terletak di daerah Setiabudi. Untuk pesta ultah ini kafe yang cukup luas dan mewah disewa penuh selama setengah hari, dari sore sampe malam. Nggak heran, sebab seperti Diana, sepupunya yang bernama Alia juga anak seorang pengusaha besar di Jakarta. Setelah sebelumnya selalu merayakan ulang tahunnya di Jakarta, tahun ini Alia ingin merayakan ulang tahunnya yang kedelapan belas di Bandung.
Suasana pesta sudah terlihat begitu mobil yang dikemudikan Vira memasuki lingkungan kafe Indiana. Nggak cuma dari deretan mobil (yang sebagian besar mobil mewah dan berplat nomor Jakarta) yang terparkir di setiap sudut tempat parkir (bahkan sebagian parkir di jalan, mengakibatkan Jalan Setiabudi sedikit macet), tapi juga dari irama musik dan kerlap-kerlip lampu yang sudah terlihat dari kejauhan.
“Bener-bener rame,” komentar Amel yang datang bareng Vira.
“Kayak tujuh belasan aja…,” gumam Vira.          
Untung saat Vira datang, sebuah mobil baru keluar dari tempat parkir, hingga mobil Vira langsung menempati tempat parkir yang ditinggalkan mobil tersebut.
Diana yang ada di depan kafe dan lagi ngobrol dengan seorang cowok, segera menyambut kedatangan Vira dan Amel.
“Halo, Sayaaang…,” sambut Diana sambil memeluk Vira dan sedikit cipika-cipiki. Hal yang sama dilakukannya ke Amel. Diana terlihat cantik malam ini, dengan gaun pink, warna
kesukaannya. Kontras banget dengan Vira yang pakai gaun hitam dan Amel dengan gaun abu-abu tua.
“Gue kira lo masih ketiduran,” kata Diana.
“Nggak lah… gue pasti inget. Masa gue lupa undangan lo…,” kata Vira, sementara Amel cuman senyam-senyum di sebelahnya. In fact, kalau bukan karena Amel nelepon ke HP Vira ngingetin acara ini, mungkin sampai sekarang Vira masih di alam mimpi.
“Stella ama Lisa mana?” tanya Vira.
“Ada tuh di dalem. Tadi sih gue liat lagi makan,” jawab Diana.
Vira melirik ke arah cowok yang tadi ngobrol dengan Diana. Vira belum pernah melihat cowok ini, tapi dia cute juga. Kebetulan, cowok itu juga lagi melihat ke arah Vira. Kayaknya juga lagi mengagumi kecantikan teman Diana yang satu ini.
“Siapa, Na?” tanya Vira.
“Eh iya, kenalin. Ini Fendi, temen sekelas Alia.” Diana memperkenalkan cowok itu.
“Fendi,” sapa si cowok sambil mengulurkan tangan.
Vira menyambut uluran tangan itu. “Vira.”
“Amel,” balas Amel saat gilirannya bersalaman dengan Fendi.
Kayaknya Fendi lebih tertarik pada Vira daripada Amel. Gelagatnya, dia pengin ngobrol banyak dengan Vira, tapi HP yang ada di saku celananya berbunyi.
“Sebentar ya…” ujar Fendi lalu sedikit menjauh dari ketiga cewek itu untuk menerima telepon.
“Andre nggak dateng, ya?” tanya Vira penuh selidik pada Diana, saat Fendi menjauh dari mereka.
“Kok lo tau?”
“Kalo ada Andre, lo nggak mungkin seganjen ini ama cowok lain.”
“Yeee… gue kan cuman mewakili Alia jadi tuan rumah yang baik,” elak Diana. “Tapi… Fendi lumayan juga sih,” sambungnya sambil cengar-cengir.
“Tuh kan…!” sergah Vira.
“Lagian dia tajir lho! Bokapnya punya pulau di Kepulauan Seribu. Dia udah ngundang gue liburan sana. Katanya pantainya indah banget. Gue bisa berjemur atau berenang di pantainya. Ada bungalonyajuga lho…”
“Kok lo mendadak jadi promosi gini sih?”
“He he he… gue kan cuman niruin kata-kata dia tadi,” jawab Diana sambil cengegesan. Mendadak dia pasang tampang serius, lalu bertanya, “Lo juga kenapa nggak ngajak Robi ke pesta ini? Hayoo… loe pengin ngelaba juga, kan?”
“Enak aja. Gue tadi udah ngajak Robi, tapi lo tau kan dia. Dia lebih seneng kumpul sama gengnya, kecuali kalo kenal banget ama yang ngadain acara,” jawab Vira tenang.
* * *
Pesta ulang tahun Alia berlangsung meriah. Kalau patokannya jumlah tamu, kafe Indiana ternyata penuh tuh.
Vira dan temannya yang lain awalnya menikmati pesta itu. Tapi lama-lama, Vira bosan sendiri. Selain anggota The Roses dan Alia, nggak ada lagi yang mereka kenal di tempat itu. Emang sih Vira dan yang lain sempat kenalan dengan beberapa cowok teman Alia, yang rata-rata berasal dari kalangan atas. Maklum, Alia juga sekolah di salah satu sekolah elite d Jakarta. Tapi cowok-cowok itu nggak ada yang bikin Vira betah ngobol lebih dari lima menit. Rata-rata cowok yang kenalan selalu ngobrol dengan topik standar, seperti alamatnya di mana, sekolah di mana, kelas berapa, dan lain-lain. Beberapa dari mereka juga langsung menunjukkan kenarsisan mereka dengan banyak cerita tentang diri atau kekayaan mereka (yang notabene masih milik ortu mereka). Mungkin untuk lebih menarik perhatian Vira, tapi itu justru bikin Vira tambah bete.
“Gue jadi inget Robi,” kata Vira pada Amel yang lagi duduk sambil menikmati brownies kukus. Ngeliat tingkah laku cowok-cowok di sini, Vira jadi teringat cowoknya itu. Robi terkesan pelit bicara kalau nggak perlu. Tapi Vira jadi mikir juga. Apa betul itu sikap Robi sebenarnya? Jangan-jangan Robi bersikap begiu di depan Vira aja. Kalau sama cewek lain, mungkin sikap Robi sama dengan cowok-cowok tadi.
“Kenapa, Vi?” Amel malah balik bertanya.
“Ah… nggak papa. Gue cuman boring aja ama suasana di sini. Gak seru, terlalu statis. Nggak ada jojingnya.”
Amel cuman manggut-mangut sambil melanjutkan mengunyah brownies.
Nggak berapa lama, Stella mendekati Vira. Dia mengenakan gaun putih dengan bordiran bunga di pinggirnya. Sekilas terlihat itu bordiran bunga anggrek.
“Steph udah nelepon lo?” tanya Stella ke Vira sambil minum segelas sirup di dekatnya.
“Steph? Stephanie maksud lo? Ngapain dia nelepon gue?” Vira malah balik bertanya.
“Jadi dia belum nelepon?”
“Belum. Ada apa?”
“Hmm… mungkin besok dia bakal bilang sendiri ke lo,” gumam Stella tanpa mengacuhkan pertanyaan Vira.
“Lo belum jawab pertanyaan gue. Ada apa?” tanya Vira lagi.
“Lo sih tadi gak latihan…”
“Stella!”
“Nggak… sebetulnya, Steph tadi bilang dia mo caonin lo sebagai ketua ekskul basket. Pemilihannya kan dua minggu lagi.”
“Ketua ekskul basket? Nggak salah?” tanya Vira nggak percaya.
“Kenapa?”
“Apa cewek bisa jadi ketua ekskul basket?” tanya Vira lagi. Dia lalu ingat, sejak ekskul basket ada di SMA Altavia, belum pernah cewek jadi ketua ekskul paling favorit di sekolah itu. Terakhir jabatan ketua dipegang Robi, yang sebentar lagi akan melepaskan jabatannya.
“Justru itu. Kali ini kita bikin sejarah. Prestasi tim basket kita kan lebih hebat daripada cowok. Jadi saatnya kita yang pegang ekskul basket. Lagi pula kata Steph, lo cocok banget jadi ketua. Lo pemain basket punya prestasi, juga cakep. Robi juga pasti akan ngedukung lo.” Stella menjelaskan panjang lebar.
“Stella… ini pemilihan ketua ekskul basket, bukan pemilihan model. Masa ketua ekskul harus cakep?”
“He… he… he… oke, kriteria cakep gue hapus. Tapi lo punya prestasi, kan?”
“Menurut gue sih jadi ketua ekskul basket nggak harus punya prestasi. Yang penting dia bisa berorganisasi dan ngatur ekskul ini dengan baik.”
“Halah… lo bisa aja. Tapi lo juga kepingin jadi ketua, kan?”
Vira nggak menjawab pertanyaan Stella. Nggak lama kemudian Lisa bergabung dengan mereka, duduk di sebelah Stella. Sementara Diana masih asyik ngobrol dengan Alia dan teman-temannya (yang kebanyakan cowok).
“Lagi pula, Vi, kalo lo jadi ketua ekskul basket, bukannya itu akan memperkuat posisi The Roses di sekolah? Sekarang ini Diana udah jadi ketua cheers. Dan Lisa jadi kandidat kuat ketua Kelsa (kelompok paduan suara SMA Altavia). Yah, walau gengsinya di bawah ekskul cheers atau basket, tapi lumayanlah…”
Lisa mendelik ke arah Stella, seolah nggak setuju dengan ucapan Stella bahwa ekskul paduan suara yang diikutinya gengsinya berada di bawah ekskul basket atau cheerleaders. Tapi Stella cuek saja.
“Tapi, apa para cowok itu rela kalo mereka dipimpin cewek?” tanya Vira masih ragu-ragu.
“Harus. Kalo mereka nggak rela, mereka harus nunjukin prestasi mereka seperti kita!” jawab Stella dengan semangat ’45. Kayak dia saja yang maju ke pemilihan ketua.
“Nggak taulah. Ntar gue ngobrol dulu ama Steph soal ini,” tandas Vira. Kelihatannya dia nggak bersemangat banget jadi ketua ekskul basket SMA Altavia.
“Emang kandidat tim cowok siapa sih?” tanya Lisa tiba-tiba. Pertanyaan biasa sih, tapi dalam suasana saat ini bikin Vira jadi tambah gerah.
“Katanya sih ada dua orang. Benny dan Irwan,” jawab Stella.
* * *
Baru saja Vira turun dari mobil di garasi rumahnya, ketika HP-nya berbunyi. Ternyata dari Stella.
“Ada apa, La?” tanya Vira.
“Vi, soal pencalonan ketua ekskul basket…”
“Ya ampun… lo masih mau ngebahas soal itu?”
“Bukan… bukan gitu. Lo bener nggak mau maju sebagai calon ketua basket?”
“Nggak. Gue males.”
“Kalo gitu…” Stella berhenti sejenak, seola ragu-ragu melanjutkan.
“Gimana kalo gue yang maju?”
* * *
Stella bilang, demi emansipai wanita dan keeksisan The Roses, dia bakal maju sebagai calon menggantikan Vira. Vira sih setuju-setuju saja, dan dia janji untuk ngomongin soal ini ke Stephanie, anak kelas 3IPA-3, kapten tim basket cewek.
Sepulang sekolah, Vira udah ditunggu Stella di tempat parkir. Ada juga Lisa dan Diana. Bareng Amel yang bersama Vira, lengkap udah formasi The Roses.
“Gimana?” tanya Stella nggak sabar. Dia memang menunggu kabar dari Vira yang pas jam istirahat tadi ngomong ke Stephanie.
Vira nyengir. “Tenang… kita cari dulu tempat yang asyik buat ngobrol. Ntar gue ceritain semua,” sahutnya.
“Mo ke mana, Vi?” tanya Diana.
“The Peak yuk! Gue udah lama nggak ke sana,” ajak Vira. Yang lain cuma lirik-lirikan karena nggak bisa menolak kemauan ketua geng mereka.
* * *
Kurang-lebih setengah jam kemudian, The Roses sudah duduk manis di teras The Peak. Gelas-gelas aneka minuman sudah berjajar di depan mereka.
“Gue tadi udah bicara lama ama Steph, sampe bel tanda masuk juga gak kedengeran saking serunya,” Vira memulai ceritanya. “Tentang gue yang nggak mau jadi ketua basket, juga tentang lo yang pengin maju jadi calon ketua,” lanjut Vira sambil menatap Stella.
“Trus, gimana tanggapan Steph? Dia ngedukung gue, kan?” tanya Stella.
“Sabar… dengerin dulu cerita gue.” Vira minum orange juice-nya dulu sebelum melanjutkan bercerita. “Ternyata Steph juga udah menduga gue nggak bakal mo mu. Dia juga udah denger Benny adalah kandidat kuat dari tim cowok. Karena itu sebetulnya Steph udah punya calon lain yang bakal dia ajuin saat latihan nanti.”
“Calon lain? Siapa?” tanya Stella. Dia sudah merasa calon itu bukanlah dirinya.
“Gita.”
“Gita? Nggak salah?” tanya Stella lagi.
“Emang kenapa kalo Gita jadi ketua basket, La?” tanya Diana. Pertanyaan itu juga yang sebetulnya akan diajukan Vira, tapi keduluan Diana.
“Gita kan selama ini jarang jadi starter. Dia tuh cadangan abadi. Kok bisa sih kayak gitu dicalonin jadi ketua basket?” sahut Stella dengan nada nggak percaya.
“Stella, gue kan udah bilang, nggak harus punya skill olahraga yang hebat untuk jadi ketua ekskul basket. Yang penting dia bisa mimpin dan berorganisasi. Gue rasa pilihan Steph nggak salah juga. Gita kan dulunya ketua OSIS saat SMP. Dia juga pernah jadi Sekretaris Mabim. Jadi dia udah pengalaman mimpin organisasi. Kita nggak mau kan punya ketua yang jago maen basketnya tapi nggak becus ngurus organisasi?”
“Tapi, Vi, kamu udah bilang ke Steph kalo Stella juga mo nyalonin diri, kan?” tanya Amel.
“Udah. Dan kata Steph sih, kalo Stella mo maju, ya maju aja. Ini kan pemilihan bebas. Semua anggota ekskul basket berhak mencalonkan diri.”
“Nah, La…” Diana menepuk pundak Stella, “lo maju aja. Pasti deh kita-kita bakal bantuin lo. Kalo The Roses udah bertindak, pasti nggak akan ada yang bisa menghalangi. Betul nggak, Vi?” lanjut Diana. Vira nggak menjawab, cuma tersenyum.
“Lo bakal dukung gue kalo gue maju nyalonin diri, kan?” tanya Stella penuh harap pada Vira.
Vira membalas tatapan mata Stella, lalu mengangguk pelan, walaupun dia sebetulnya ragu-ragu dengan tindakannya ini. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar