Luna Torashyngu
LOVASKET
TIGA
PESTA ulang tahun sepupu Diana
berlangsung di Indiana, sebuah kafe yang terletak di daerah Setiabudi. Untuk
pesta ultah ini kafe yang cukup luas dan mewah disewa penuh selama setengah
hari, dari sore sampe malam. Nggak heran, sebab seperti Diana, sepupunya yang
bernama Alia juga anak seorang pengusaha besar di Jakarta. Setelah sebelumnya
selalu merayakan ulang tahunnya di Jakarta, tahun ini Alia ingin merayakan
ulang tahunnya yang kedelapan belas di Bandung.
Suasana pesta sudah terlihat
begitu mobil yang dikemudikan Vira memasuki lingkungan kafe Indiana. Nggak cuma
dari deretan mobil (yang sebagian besar mobil mewah dan berplat nomor Jakarta)
yang terparkir di setiap sudut tempat parkir (bahkan sebagian parkir di jalan,
mengakibatkan Jalan Setiabudi sedikit macet), tapi juga dari irama musik dan
kerlap-kerlip lampu yang sudah terlihat dari kejauhan.
“Bener-bener rame,” komentar
Amel yang datang bareng Vira.
“Kayak
tujuh belasan aja…,” gumam Vira.
Untung saat Vira datang, sebuah
mobil baru keluar dari tempat parkir, hingga mobil Vira langsung menempati
tempat parkir yang ditinggalkan mobil tersebut.
Diana yang ada di depan kafe
dan lagi ngobrol dengan seorang cowok, segera menyambut kedatangan Vira dan
Amel.
“Halo, Sayaaang…,” sambut Diana
sambil memeluk Vira dan sedikit cipika-cipiki. Hal yang sama dilakukannya ke
Amel. Diana terlihat cantik malam ini, dengan gaun pink, warna
kesukaannya.
Kontras banget dengan Vira yang pakai gaun hitam dan Amel dengan gaun abu-abu
tua.
“Gue kira lo masih ketiduran,”
kata Diana.
“Nggak lah… gue pasti inget.
Masa gue lupa undangan lo…,” kata Vira, sementara Amel cuman senyam-senyum di
sebelahnya. In fact, kalau bukan karena Amel nelepon ke HP Vira
ngingetin acara ini, mungkin sampai sekarang Vira masih di alam mimpi.
“Stella ama Lisa mana?” tanya
Vira.
“Ada tuh di dalem. Tadi sih gue
liat lagi makan,” jawab Diana.
Vira melirik ke arah cowok yang
tadi ngobrol dengan Diana. Vira belum pernah melihat cowok ini, tapi dia cute
juga. Kebetulan, cowok itu juga lagi melihat ke arah Vira. Kayaknya juga
lagi mengagumi kecantikan teman Diana yang satu ini.
“Siapa, Na?” tanya Vira.
“Eh iya, kenalin. Ini Fendi,
temen sekelas Alia.” Diana memperkenalkan cowok itu.
“Fendi,” sapa si cowok sambil
mengulurkan tangan.
Vira menyambut uluran tangan
itu. “Vira.”
“Amel,” balas Amel saat
gilirannya bersalaman dengan Fendi.
Kayaknya Fendi lebih tertarik
pada Vira daripada Amel. Gelagatnya, dia pengin ngobrol banyak dengan Vira,
tapi HP yang ada di saku celananya berbunyi.
“Sebentar ya…” ujar Fendi lalu
sedikit menjauh dari ketiga cewek itu untuk menerima telepon.
“Andre nggak dateng, ya?” tanya
Vira penuh selidik pada Diana, saat Fendi menjauh dari mereka.
“Kok lo tau?”
“Kalo ada Andre, lo nggak
mungkin seganjen ini ama cowok lain.”
“Yeee… gue kan cuman mewakili
Alia jadi tuan rumah yang baik,” elak Diana. “Tapi… Fendi lumayan juga sih,”
sambungnya sambil cengar-cengir.
“Tuh kan…!” sergah Vira.
“Lagian
dia tajir lho! Bokapnya punya pulau di Kepulauan Seribu. Dia udah ngundang gue
liburan sana. Katanya pantainya indah banget. Gue bisa berjemur atau berenang
di pantainya. Ada bungalonyajuga lho…”
“Kok lo mendadak jadi promosi
gini sih?”
“He he he… gue kan cuman niruin
kata-kata dia tadi,” jawab Diana sambil cengegesan. Mendadak dia pasang tampang
serius, lalu bertanya, “Lo juga kenapa nggak ngajak Robi ke pesta ini? Hayoo…
loe pengin ngelaba juga, kan?”
“Enak aja. Gue tadi udah ngajak
Robi, tapi lo tau kan dia. Dia lebih seneng kumpul sama gengnya, kecuali kalo
kenal banget ama yang ngadain acara,” jawab Vira tenang.
* * *
Pesta ulang tahun Alia
berlangsung meriah. Kalau patokannya jumlah tamu, kafe Indiana ternyata penuh tuh.
Vira dan temannya yang lain
awalnya menikmati pesta itu. Tapi lama-lama, Vira bosan sendiri. Selain anggota
The Roses dan Alia, nggak ada lagi yang mereka kenal di tempat itu. Emang sih
Vira dan yang lain sempat kenalan dengan beberapa cowok teman Alia, yang
rata-rata berasal dari kalangan atas. Maklum, Alia juga sekolah di salah satu
sekolah elite d Jakarta. Tapi cowok-cowok itu nggak ada yang bikin Vira betah
ngobol lebih dari lima menit. Rata-rata cowok yang kenalan selalu ngobrol
dengan topik standar, seperti alamatnya di mana, sekolah di mana, kelas berapa,
dan lain-lain. Beberapa dari mereka juga langsung menunjukkan kenarsisan mereka
dengan banyak cerita tentang diri atau kekayaan mereka (yang notabene masih
milik ortu mereka). Mungkin untuk lebih menarik perhatian Vira, tapi itu justru
bikin Vira tambah bete.
“Gue jadi inget Robi,” kata
Vira pada Amel yang lagi duduk sambil menikmati brownies kukus. Ngeliat
tingkah laku cowok-cowok di sini, Vira jadi teringat cowoknya itu. Robi
terkesan pelit bicara kalau nggak perlu. Tapi Vira jadi mikir juga. Apa betul
itu sikap Robi sebenarnya? Jangan-jangan Robi bersikap begiu di depan Vira aja.
Kalau sama cewek lain, mungkin sikap Robi sama dengan cowok-cowok tadi.
“Kenapa,
Vi?” Amel malah balik bertanya.
“Ah… nggak papa. Gue cuman boring
aja ama suasana di sini. Gak seru, terlalu statis. Nggak ada jojingnya.”
Amel cuman manggut-mangut
sambil melanjutkan mengunyah brownies.
Nggak berapa lama, Stella
mendekati Vira. Dia mengenakan gaun putih dengan bordiran bunga di pinggirnya.
Sekilas terlihat itu bordiran bunga anggrek.
“Steph udah nelepon lo?” tanya
Stella ke Vira sambil minum segelas sirup di dekatnya.
“Steph? Stephanie maksud lo?
Ngapain dia nelepon gue?” Vira malah balik bertanya.
“Jadi dia belum nelepon?”
“Belum. Ada apa?”
“Hmm… mungkin besok dia bakal
bilang sendiri ke lo,” gumam Stella tanpa mengacuhkan pertanyaan Vira.
“Lo belum jawab pertanyaan gue.
Ada apa?” tanya Vira lagi.
“Lo sih tadi gak latihan…”
“Stella!”
“Nggak… sebetulnya, Steph tadi
bilang dia mo caonin lo sebagai ketua ekskul basket. Pemilihannya kan dua
minggu lagi.”
“Ketua ekskul basket? Nggak
salah?” tanya Vira nggak percaya.
“Kenapa?”
“Apa cewek bisa jadi ketua
ekskul basket?” tanya Vira lagi. Dia lalu ingat, sejak ekskul basket ada di SMA
Altavia, belum pernah cewek jadi ketua ekskul paling favorit di sekolah itu.
Terakhir jabatan ketua dipegang Robi, yang sebentar lagi akan melepaskan
jabatannya.
“Justru itu. Kali ini kita
bikin sejarah. Prestasi tim basket kita kan lebih hebat daripada cowok. Jadi
saatnya kita yang pegang ekskul basket. Lagi pula kata Steph, lo cocok banget
jadi ketua. Lo pemain basket punya prestasi, juga cakep. Robi juga pasti akan
ngedukung lo.” Stella menjelaskan panjang lebar.
“Stella… ini pemilihan ketua
ekskul basket, bukan pemilihan model. Masa ketua ekskul harus cakep?”
“He… he… he… oke, kriteria
cakep gue hapus. Tapi lo punya prestasi, kan?”
“Menurut
gue sih jadi ketua ekskul basket nggak harus punya prestasi. Yang penting dia
bisa berorganisasi dan ngatur ekskul ini dengan baik.”
“Halah… lo bisa aja. Tapi lo
juga kepingin jadi ketua, kan?”
Vira nggak menjawab pertanyaan
Stella. Nggak lama kemudian Lisa bergabung dengan mereka, duduk di sebelah
Stella. Sementara Diana masih asyik ngobrol dengan Alia dan teman-temannya
(yang kebanyakan cowok).
“Lagi pula, Vi, kalo lo jadi
ketua ekskul basket, bukannya itu akan memperkuat posisi The Roses di sekolah?
Sekarang ini Diana udah jadi ketua cheers. Dan Lisa jadi kandidat kuat
ketua Kelsa (kelompok paduan suara SMA Altavia). Yah, walau gengsinya di bawah
ekskul cheers atau basket, tapi lumayanlah…”
Lisa mendelik ke arah Stella,
seolah nggak setuju dengan ucapan Stella bahwa ekskul paduan suara yang
diikutinya gengsinya berada di bawah ekskul basket atau cheerleaders.
Tapi Stella cuek saja.
“Tapi, apa para cowok itu rela
kalo mereka dipimpin cewek?” tanya Vira masih ragu-ragu.
“Harus. Kalo mereka nggak rela,
mereka harus nunjukin prestasi mereka seperti kita!” jawab Stella dengan
semangat ’45. Kayak dia saja yang maju ke pemilihan ketua.
“Nggak taulah. Ntar gue ngobrol
dulu ama Steph soal ini,” tandas Vira. Kelihatannya dia nggak bersemangat
banget jadi ketua ekskul basket SMA Altavia.
“Emang kandidat tim cowok siapa
sih?” tanya Lisa tiba-tiba. Pertanyaan biasa sih, tapi dalam suasana saat ini
bikin Vira jadi tambah gerah.
“Katanya sih ada dua orang.
Benny dan Irwan,” jawab Stella.
* * *
Baru saja Vira turun dari mobil
di garasi rumahnya, ketika HP-nya berbunyi. Ternyata dari Stella.
“Ada apa, La?” tanya Vira.
“Vi, soal pencalonan ketua
ekskul basket…”
“Ya ampun… lo masih mau
ngebahas soal itu?”
“Bukan…
bukan gitu. Lo bener nggak mau maju sebagai calon ketua basket?”
“Nggak. Gue males.”
“Kalo gitu…” Stella berhenti
sejenak, seola ragu-ragu melanjutkan.
“Gimana kalo gue yang maju?”
* * *
Stella bilang, demi emansipai
wanita dan keeksisan The Roses, dia bakal maju sebagai calon menggantikan Vira.
Vira sih setuju-setuju saja, dan dia janji untuk ngomongin soal ini ke
Stephanie, anak kelas 3IPA-3, kapten tim basket cewek.
Sepulang sekolah, Vira udah
ditunggu Stella di tempat parkir. Ada juga Lisa dan Diana. Bareng Amel yang
bersama Vira, lengkap udah formasi The Roses.
“Gimana?” tanya Stella nggak
sabar. Dia memang menunggu kabar dari Vira yang pas jam istirahat tadi ngomong
ke Stephanie.
Vira nyengir. “Tenang… kita
cari dulu tempat yang asyik buat ngobrol. Ntar gue ceritain semua,” sahutnya.
“Mo ke mana, Vi?” tanya Diana.
“The Peak yuk! Gue udah lama
nggak ke sana,” ajak Vira. Yang lain cuma lirik-lirikan karena nggak bisa
menolak kemauan ketua geng mereka.
* * *
Kurang-lebih setengah jam
kemudian, The Roses sudah duduk manis di teras The Peak. Gelas-gelas aneka
minuman sudah berjajar di depan mereka.
“Gue tadi udah bicara lama ama
Steph, sampe bel tanda masuk juga gak kedengeran saking serunya,” Vira memulai
ceritanya. “Tentang gue yang nggak mau jadi ketua basket, juga tentang lo yang
pengin maju jadi calon ketua,” lanjut Vira sambil menatap Stella.
“Trus, gimana tanggapan Steph?
Dia ngedukung gue, kan?” tanya Stella.
“Sabar…
dengerin dulu cerita gue.” Vira minum orange juice-nya dulu sebelum
melanjutkan bercerita. “Ternyata Steph juga udah menduga gue nggak bakal mo mu.
Dia juga udah denger Benny adalah kandidat kuat dari tim cowok. Karena itu
sebetulnya Steph udah punya calon lain yang bakal dia ajuin saat latihan
nanti.”
“Calon lain? Siapa?” tanya
Stella. Dia sudah merasa calon itu bukanlah dirinya.
“Gita.”
“Gita? Nggak salah?” tanya
Stella lagi.
“Emang kenapa kalo Gita jadi
ketua basket, La?” tanya Diana. Pertanyaan itu juga yang sebetulnya akan
diajukan Vira, tapi keduluan Diana.
“Gita kan selama ini jarang
jadi starter. Dia tuh cadangan abadi. Kok bisa sih kayak gitu dicalonin
jadi ketua basket?” sahut Stella dengan nada nggak percaya.
“Stella, gue kan udah bilang,
nggak harus punya skill olahraga yang hebat untuk jadi ketua ekskul
basket. Yang penting dia bisa mimpin dan berorganisasi. Gue rasa pilihan Steph
nggak salah juga. Gita kan dulunya ketua OSIS saat SMP. Dia juga pernah jadi
Sekretaris Mabim. Jadi dia udah pengalaman mimpin organisasi. Kita nggak mau
kan punya ketua yang jago maen basketnya tapi nggak becus ngurus organisasi?”
“Tapi, Vi, kamu udah bilang ke
Steph kalo Stella juga mo nyalonin diri, kan?” tanya Amel.
“Udah. Dan kata Steph sih, kalo
Stella mo maju, ya maju aja. Ini kan pemilihan bebas. Semua anggota ekskul
basket berhak mencalonkan diri.”
“Nah, La…” Diana menepuk pundak
Stella, “lo maju aja. Pasti deh kita-kita bakal bantuin lo. Kalo The Roses udah
bertindak, pasti nggak akan ada yang bisa menghalangi. Betul nggak, Vi?” lanjut
Diana. Vira nggak menjawab, cuma tersenyum.
“Lo bakal dukung gue kalo gue
maju nyalonin diri, kan?” tanya Stella penuh harap pada Vira.
Vira membalas tatapan mata
Stella, lalu mengangguk pelan, walaupun dia sebetulnya ragu-ragu dengan
tindakannya ini.