Luna Torashyngu
LOVASKET
DUA
HARI Seniiiin!!!
Ya, hari ini emang hari Senin,
hari yang jadi awal kegiatan rutin sehari-hari, termasuk awal sekolah. Hari
yang paling dibenci sebagian anak sekolah, nggak terkecuali Vira.
Vira malas banget bangun sepagi
ini. Apalagi dia baru tidur jam dua pagi, sehabis clubbing di Fire.
Kenapa sih harus ada hari
Senin? Kenapa harus ada upacara bendera yang bikin setiap siswa harus datang
lebih pagi dari biasanya? Mau nggak mau, semua siswa harus datang lebih pagi
kalau nggak ingin terpaksa ikut upacara bendera dari luar pagar sekolah.
Soalnya kalau terlambat, selanjutnya bisa ditebak, mereka harus berhadapan
dengan guru BP, dicatat nama dan kelasnya, dan diperingati untuk nggak
terlambat lagi, atau hukuman yang lebih berat bakal menanti.
Dan kalau saja hari Senin ini
nggak ada ulangan matematika, Vira lebih milih bolos. Ulangan matematika! Jam
pertama, lagi! Kenapa sih harus ada pelajaran yang bikin kepala pusing seperti
matematika, fisika, dan kawan-kawannya? Mana Vira nggak belajar tadi malam,
lagi! (Iyalah, mana sempat dia belajar kalau dari pagi udah ngelayap bareng
temen-temennya dan baru pulang jam dua dini hari?)
Suara HP Vira yang entah berada
di mana membuatnya lebih membuka mata. Vira berhasil menemukan HP-nya yang
ternyata berada di bawah bantal, hanya beberapa satu detik sebelum deringnya
berhenti dan masuk mailbox.
“Halo…,”
jawab Vira yang masih setengah sadar. “Iyaaa… Lo udah mandi? Iya… ntar gue
jemput lo. Tunggu aja…,” katanya dengan suara mengantuk, lalu mengakhiri
teleponnya. Vira melihat jam yang tertera di layar HP-nya. Jam setengah enam
lewat. Dia harus cepat-cepat mandi kalau nggak mau terlambat sampai sekolah.
Belum lagi melewati jalah-jalan di Bandung yang makin lama makin macet di pagi
hari.
* * *
“Semalam kamu pulang jam
berapa?” tanya mama Vira saat anaknya itu duduk di meja makan, memakan sandwich
yang udah tersedia di situ.
“Jam dua belas juga udah pulang
kok, Ma,” jawab Vira.
“Jangan bohong. Jam satu Mama
bangun, kamu belum pulang. Kamu ke mana aja sih? Untung papamu sedang di luar
kota. Kalo sampe papamu tau, kamu pasti kena marah.”
Vira diam mendengar ucapan
mamanya.
“Trus, kenapa HP kamu dimatiin
waktu Mama telepon?”
“Baterainya abis, Ma. Baru tadi
pagi di-charge.”
“HP yang satu lagi?”
“Nggak dibawa.”
Mamanya hanya geleng-geleng
sambil menatap Vira dengan tatapan nggak setuju atas apa yang dilakukan
anaknya, clubbing hampir tiap malam sampai pagi. Dia emang nggak setuju,
tapi juga nggak bisa menegur Vira terlalu keras. Takut Vira marah lalu ngambek.
Maklum, Vira anak semata wayang yang lahir setelah tiga tahun perkawinan
mereka. Karena itu Vira sangat dimanja sejak kecil, terutama oleh mamanya.
Segala keinginannya selalu dituruti. Papanya baru bersikap agak keras saat Vira
mulai menginjak remaja. Mungkin papanya takut, Vira akan terbawa pergaulan yang
salah di masa remajanya.
“Mama kok ngeliatin Vira kayak
gitu sih?” tanya Vira.
“Nggak. Mama cuman pengin kamu
mengurangi kegiatan di luar sekolah. Jangan sering-sering keluar, apalagi
keluar malam.”
“Mama…
Apa Mama pengin Vira di rumah terus sepulang sekolah atau pas libur? Vira bisa
jamuran, Ma…”
“Maksud Mama bukan begitu. Mama
cuman minta agar kamu jangan terlalu sering keluar rumah hanya untuk main.
Apalagi kalo ada Papa. Mama dan Papa takut itu akan mengganggu sekolah kamu.”
“Soal itu jangan khawatir deh,
Ma. Sekolah Vira baek-baek aja kok. Vira jamin, Vira pasti selalu naek kelas
dan lulus, lalu kuliah di perguruan tinggi. Tenang aja deh…,” jawab Vira sok
yakin, padahal hatinya saat ini nggak seyakin ucapannya. Saat ini cuma satu
yang ada dalam pikiran Vira: Gimana nasib gue saat ulangan matematika?
* * *
SMA Altavia adalah SMA swasta
paling favorit di Bandung. Sekolah yang mempunyai gedung megah tiga lantai itu
jadi incaran para lulusan SMP yang nggak keterima di SMA negeri. Banyak juga
muridnya yang langsung memilih bersekolah di sini daripada masuk ke SMA negeri.
Fasilitas SMA Altavia termasuk yang terlengkap di Bandung. Selain ruang kelas
yang nyaman dilengkapi AC dan lift sebagai pengganti tangga di setiap lantai,
tersedia juga berbagai macam laboratorium dan alat penunjang kegiatan belajar
lainnya, mulai dari lab fisika, biologi, kimia, sampai lab komputer, lengkap
dengan Internet-nya. Jangan ditanya fasilitas lain seperti perpustakaan yang
modern, ruang olahraga berperalatan lengkap mirip tempat fitness kecil,
juga ruang kesenian merangkap teater. Bahkan SMA Altavia punya gedung serbaguna
besar, juga gedung olahraga kecil untuk berbagai kegiatan olahraga.
Karena fasilitas mewah dan
lengkap itulah bayaran untuk sekolah di sini ngajubileh mahalnya. Uang masuknya
saja puluhan juta, belum lagi SPP setiap bulannya yang bisa untuk bayar SPP di
sekolah negeri selama setahun. Karena mahalnya, cuma kalangan tertentu yang
bisa bersekolah di sini. Misalnya anak-anak orang kaya, anak pengusaha, ataupun
anak pejabat. Salah satu di antara mereka adalah Savira Priskila,atau biasa
dipanggil Vira. Status Vira sebagai anak direktur cabang Bank Central Buana,
salah satu bank BUMN terbesar di Indonesia memudahkannya masuk ke SMA Altavia,
dan diterima dalam pergaulan di sana. Bahkan
sekarang
Vira termasuk salah satu “top girl” di SMA Altavia. Statusnya yang ketua
geng cewek The Roses (yang merupakan bunga favorit Vira), atlet basket andalan
sekolah, dan pengurus OSIS bidang olahraga membuatnya jadi salah satu “orang
paling berpengaruh”, paling nggak di kalangan cewek-cewek SMA Altavia. Belum
lagi kedekatannya dengan Robi, anak kelas 3IPA-2 dan putra ketua yayasan yang
menaungi SMA Altavia, membuat Vira seakan jadi “Ratu” di sini.
Seperti juga hari ini. Begitu
turun dari Peugeot 307 yang baru diperolehnya sebulan lalu sebagai hadiah ulang
tahun, Vira disambut anggota The Roses lainnya, yaitu Stella, Diana, dan Lisa.
Ditambah dengan Amel yang tadi menumpang mobilnya, lengkap deh seluruh anggota
The Roses sekarang. Kecuali Vira dan Amel yang satu kelas di 2IPA-1, yang lain
beda kelas. Stella dan Lisa di kelas 2IPS-2, serta Diana di kelas 2IPS-3.
“Kenapa, Vi?” tanya Stella
melihat wajah Vira yang suntuk banget.
“Ada ulangan matematika jam
pertama. Gue belum belajar nih! Mana masih ngantuk banget!” jawab Vira.
“Gue kirain ada apa. Lo sih
kemaren semangat banget goyangnya. Jadi kecapean sendiri deh,” sahut Stella.
“Abis musiknya asyik sih! Pas
banget buat goyang.”
“Tapi akibatnya sekarang…?”
“Udah… nggak usah dipikirin…,”
potong Diana. “Guru matematika di kelas lo Pak Bachrudin, kan? Dia sih gampang.
Asal lo deketin dia, nilai matematika ntar di rapor nggak bakal merah deh…,”
lanjutnya.
“Deketin gimana maksudnya?”
tanya Vira.
“Masa lo nggak tau? Atau
pura-pura?” Diana malah balik bertanya.
“Gue bener-bener nggak tau. Lo
tau, Mel?”
Amel hanya mengangkat bahu.
Vira menatap Diana dengan
pandangan menyelidik. “Jadi maksud lo…,” gumam Vira.
“Pak Bachrudin kan cowok juga,
Vi…,” tukas Diana.
“Ya ampun… Diana… Ogah!!”
“Kenapa? Kan demi nilai
matematika lo juga.”
“Ya…
tapi kalo sampe ngedeketin Pak Bachrudin demi nilai matematika, gue bisa
dipotong hidup-hidup ama Robi…”
“Halah… Vi, paling cuman
dipegang-pegang ama Pak Bachrudin yang udah es te we itu.”
Tiba-tiba Vira menatap tajam ke
arah Diana. “Lo kok tau banyak sih soal Pak Bachrudin? Jangan-jangan lo…”
Diana cuma nyengir.
“Halah! Emang dasar lo aja yang
ganjen,” sambung Vira.
“Udah-udah, nggak usah dibahas
lagi!” Lisa yang dari tadi diamkut nyambung juga akhirnya.
“Oke deh, gue ke kelas dulu
yaa… ntar istirahat kita ketemu di kantin. Yuk, Mel!”Ira segera menggamit
tangan Amel, lalu beranjak menuju kelas mereka.
* * *
Ternyata hari ini emang hari
sial bagi Vira. Nggak tahu, mimpi apa dia semalam sampai ketiban sial kayak
gini. Setelah dua jam ulangan matematika yang bikin pusing dua belas
keliling—hanya diselingi pelajaran PPKN—eh, pas pelajaran kimia, Bu Suwarni
ikut-ikutan memberikan tes dadakanang dia sebut latihan soal. Penderitaan Vira
bertambah saat jam istirahat, ternyata kantin sekolah tutup. Katanya, Bu Wati
yang mengelola kantin sedang pulang kampung ke Subang menengok orangtuanya yang
sakit. Padahal Vira udah ngebayangin bisa makan burger buatan Bu Wati yang
enak. Untung aja senyum Robi saat ketemu dengannya bisa bikin hati Vira sedikit
adem. Ngobrol dengan Robi juga bikin Vira sedikit melupakan kekesalan dan rasa
ngantuknya.
* * *
“Vi…”
Vira yang lagi jalan ke
mobilnya bareng Amel menoleh. Stella setengah berlari mendekatinya.
“Lo
bener nggak latihan sore ini?” tanya Stella ke Vira.
“Iya… gue ngantuk berat nih.
Mungkin gue bakal tidur sampe sore. Emang kenapa?”
“Kalo gitu, gue boleh pake kaus
emas lo?” tanya Stella lagi. Kaus emas adalah lambang perhargaan bagi atlet
basket SMA Altavia yang paling berprestasi. Kaus basket yang berwarna kuning
keemasan dengan tulisan dan logo SMA ALTAVIA berwarna perak itu dipesan khusus
dua buah. Satu untuk cowok, satu lagi untuk cewek. Mereka yang mendapat kaus
emas berhak memakainya saat latihan selama enam bulan, sampai pemilihan
berikutnya yang dilakukan pelatih basket SMA Altavia dan seluruh anak yang
mengikuti ekskul basket, denga melihat siapa yang paling menonjol atau
berprestasi selama enam bulan terakhir. Kalo ada lebih dari satu kandidat
dengan jumlah suara sama, penentuan terakhir dilakukan dengan mengadakan
pertandingan 1 on 1 antarkandidat. Siapa yang menang berhak mendapatkan
kaus emas.
Sekarang Vira yang beruntung
memakai kaus emas. Keberhasilannya membawa tim SMA Altavia juara di Turnamen
Bola Basket Antar-SMA Se-Jawa-Bali bulan lalu serta merebut MVP dan top
scorer membuat Vira mendapatkan kaus emas dengan suara jauh di atas
kandidat lain, termasuk Stella yang sebetulnya bermain bagus di turnamen itu.
Vira menatap Stella, seolah
heran, kenapa temannya bisa menanyakan pertanyaan bodoh kayak gini?
“Boleh aja kalo Pak Andryan dan
temen-temen yang lain setuju. Tapi gue rasa mereka nggak bakal setuju. Lo harus
ngerebut dulu kaus emas itu dari gue, baru boleh make itu. Lo kan tau…”
“He… he… he… gue kan cuman
iseng doang. Tapi ntar malem lo tetep dateng, kan?”
“Dateng? Dateng ke mana?” Vira
malah balik nanya.
Stella menatap tajam ke arah Vira.
“Ya ampun! Gimana sih lo…” Lalu Stella beralih menatap Amel. Seperti biasa,
Amel hanya mengangkat bahu.
“Apa sih?” tanya Vira.
“Tadi kan Diana ngundang kita
ke pesta ultah sepupunya. Masa lo lupa?”
“Oya, sori. Gue nggak merhatiin
pas Diana ngomong tadi.”
“Jadi, lo ikut, kan?”
“Iyalah… kan sesuai moto geng
kita…”
“BE
PARTY, BE HAPPY!” sambung Stella lalu ketawa, sedang Vira dan Amel cuma
tersenyum.
* * *
Pesta, clubbing,
jalan-jalan di mal, shopping, dan sederet kegiatan fun lainnya.
Itulah kegiatan rutin The Roses, di luar kegiatan sekolah mereka. Kelima cewek
ini boleh dibilang “penguasa” SMA Altavia. Selebritis sekolah, walau mereka
masih kelas 2. Selain Vira, ada Stella Winchest, cewek blasteran Indo-Inggris
yang lima sentimeter lebih tinggi dari Vira, dan selalu bersaing menjadi yang
terbaik di lapangan basket. Bokapnya yang orang Inggris sekarang tinggal di New
York dan menjadi pialang saham yang sukses di Wall Street.
Ada juga Diana Riantanu, anak
seorang pejabat pemerintah pusat, pimpinan sebuah instansi penting di Jakarta.
Walau Diana hanya anak istri kedua si pejabat, tapi dia tetap mendapat limpahan
materi dari bokapnya. Diana juga memiliki tubuh yang katanya paling seksi di
antara anggota The Roses. Dan kayaknya dia tahu serta bisa memanfaatkan
keseksiannya itu. Terbukti dengan hobinya yang suka gonta-ganti cowok (apa
hubungannya?). Pokoknya kalau Diana bisa pacaran dengan seorang cowok lebih
dari tiga bulan dan tetap setia selama masa pacarannya, Vira dan Stella bakal
nyembah-nyembah dia. Oya, Diana juga ketua dan kapten tim ekskul Cheerleaders
SMA Altavia, salah satu ekskul favorit cewek di sekoah mana pun. Klop deh ama
pergaulannya yang “rada-rada bebas” itu.
Amelisa Ferianti. Teman
sebangku Vira. Rumahnya juga nggak jauh dari rumah Vira, walau beda kompleks
(itulah sebabnya Amel suka nebeng mobil Vira saat berangkat atau pulang
sekolah). Dibanding anggota The Roses lainnya, Amel yang paling pendiam dan
nggak banyak tingkah. Bahkan saking pendiamnya, kalau nggak ada yang ngajak
ngomong duluan atau Amel-nya merasa nggak punya kepentingan, dia nggak bakal
ngomong. Tapi walaupun pendiam dan kelihatan paling lemah dari yang lain, nggak
ada anak SMA Altavia yang berani ngeganggu Amel atau macem-macem ke dia. Tentu
aja, sebab bokapnya adalah seorang jenderal Angkatan Darat berbintang tiga yang
sekarang menjabat komandan salah satu instansi militer strategis di Jakarta.
Macem-macem dengan Amel, jangan heran kalau besoknya
berurusan
dengan orang-orang berambut cepak dengan potongan ala militer. Mereka anak buah
bokap Amel yang sedang bertugas di Bandung. Mungkin karena itulah para cowok di
SMA Altavia agak-agak malas ngedeketin Amel, apalagi sampe pedekate. Bukan
apa-apa, kalau nanti ternyata malah bikin Amel patah hati atau marah, apa nggak
jadi repot urusannya tuh?! Dan kayaknya Amel sendiri juga nggak masalah soal
nggak ada cowok yang berani dekin dia. Dia cuek-cuek aja tuh! Padahal menurut
Vira, Amel sebetulnya lumayan cantik. Wajahnya lembut. Kalau saja Amel mau
berdandan ala Diana. Vira yakin, pasti banyak cowok yang nekat mau deketin dia.
Vira sendiri senang berteman dengan Amel karena selain rumahnya deket (bisa
dijadiin teman ngobrol kalo berangkat dan pulang sekolah), juga karena otaknya
lumayan encer (Amel-lah satu-satunya anggota The Roses yang rapornya nggak
pernah ada angka merahnya, sedang yang lainnya… full colour!!). Dan
ternyata Amel bisa jadi temen ngobrol yang asyik kok, asal diajak ngobrol
duluan!
Lisa Wiryadinar, teman sebangku
Stella. Bokapnya pemilik sebuah jaringan supermarket yang cabangnya udah
tersebar di seluruh Indonesia. Boleh dibilang, masuknya Lisa ke The Roses hanya
karena dia selalu bareng Stella sejak kelas 1. Vira yang dianggap sebagai
“ketua geng” (walau mereka nggak pernah resmi mengangkat siapa yang jadi ketua)
tentu nggak bisa menolak keinginan Stella, sama seperti Stella yang nggak bisa
menolak keinginan Vira yang lebih dulu ngajak Amel bergabung ke dalam The
Roses.
Karena latar belakang para
anggota The Roses itulah geng ini dianggap paling “powerfull” di sekolah.
Padahal ada juga geng-geng cewek lain di SMA Altavia, dari kelas 1 sampe kelas
3. Tapi mereka semua kalah pamor dari “para mawar” itu. Bahkan di kantin,
mereka punya meja tersendiri dekat jendela, dekat kebun mawar yang ditanam di
halaman sekolah. Kalau The Roses datang, meja itu harus dikosongin. Tentu aja
kecuali yang duduk di situ adalah Robi dan teman-temannya. Untungnya Robi
jarang nongkrong di kantin sekolah. Saat istirahat dia lebih suka maen basket
di lapangan atau nongkrong bareng teman-temannya di dekat tempat parkir. Tempat
itu jauh dari kantor guru, hingga mereka bisa ngerokok dengan bebas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar