Powered By Blogger

Kamis, 01 Agustus 2013

LOVASKET 1

Luna Torashyngu

LOVASKET

DUA

HARI Seniiiin!!!
Ya, hari ini emang hari Senin, hari yang jadi awal kegiatan rutin sehari-hari, termasuk awal sekolah. Hari yang paling dibenci sebagian anak sekolah, nggak terkecuali Vira.
Vira malas banget bangun sepagi ini. Apalagi dia baru tidur jam dua pagi, sehabis clubbing di Fire.
Kenapa sih harus ada hari Senin? Kenapa harus ada upacara bendera yang bikin setiap siswa harus datang lebih pagi dari biasanya? Mau nggak mau, semua siswa harus datang lebih pagi kalau nggak ingin terpaksa ikut upacara bendera dari luar pagar sekolah. Soalnya kalau terlambat, selanjutnya bisa ditebak, mereka harus berhadapan dengan guru BP, dicatat nama dan kelasnya, dan diperingati untuk nggak terlambat lagi, atau hukuman yang lebih berat bakal menanti.
Dan kalau saja hari Senin ini nggak ada ulangan matematika, Vira lebih milih bolos. Ulangan matematika! Jam pertama, lagi! Kenapa sih harus ada pelajaran yang bikin kepala pusing seperti matematika, fisika, dan kawan-kawannya? Mana Vira nggak belajar tadi malam, lagi! (Iyalah, mana sempat dia belajar kalau dari pagi udah ngelayap bareng temen-temennya dan baru pulang jam dua dini hari?)
Suara HP Vira yang entah berada di mana membuatnya lebih membuka mata. Vira berhasil menemukan HP-nya yang ternyata berada di bawah bantal, hanya beberapa satu detik sebelum deringnya berhenti dan masuk mailbox.
“Halo…,” jawab Vira yang masih setengah sadar. “Iyaaa… Lo udah mandi? Iya… ntar gue jemput lo. Tunggu aja…,” katanya dengan suara mengantuk, lalu mengakhiri teleponnya. Vira melihat jam yang tertera di layar HP-nya. Jam setengah enam lewat. Dia harus cepat-cepat mandi kalau nggak mau terlambat sampai sekolah. Belum lagi melewati jalah-jalan di Bandung yang makin lama makin macet di pagi hari.
* * *
“Semalam kamu pulang jam berapa?” tanya mama Vira saat anaknya itu duduk di meja makan, memakan sandwich yang udah tersedia di situ.
“Jam dua belas juga udah pulang kok, Ma,” jawab Vira.
“Jangan bohong. Jam satu Mama bangun, kamu belum pulang. Kamu ke mana aja sih? Untung papamu sedang di luar kota. Kalo sampe papamu tau, kamu pasti kena marah.”
Vira diam mendengar ucapan mamanya.
“Trus, kenapa HP kamu dimatiin waktu Mama telepon?”
“Baterainya abis, Ma. Baru tadi pagi di-charge.”
“HP yang satu lagi?”
“Nggak dibawa.”
Mamanya hanya geleng-geleng sambil menatap Vira dengan tatapan nggak setuju atas apa yang dilakukan anaknya, clubbing hampir tiap malam sampai pagi. Dia emang nggak setuju, tapi juga nggak bisa menegur Vira terlalu keras. Takut Vira marah lalu ngambek. Maklum, Vira anak semata wayang yang lahir setelah tiga tahun perkawinan mereka. Karena itu Vira sangat dimanja sejak kecil, terutama oleh mamanya. Segala keinginannya selalu dituruti. Papanya baru bersikap agak keras saat Vira mulai menginjak remaja. Mungkin papanya takut, Vira akan terbawa pergaulan yang salah di masa remajanya.
“Mama kok ngeliatin Vira kayak gitu sih?” tanya Vira.
“Nggak. Mama cuman pengin kamu mengurangi kegiatan di luar sekolah. Jangan sering-sering keluar, apalagi keluar malam.”
“Mama… Apa Mama pengin Vira di rumah terus sepulang sekolah atau pas libur? Vira bisa jamuran, Ma…”
“Maksud Mama bukan begitu. Mama cuman minta agar kamu jangan terlalu sering keluar rumah hanya untuk main. Apalagi kalo ada Papa. Mama dan Papa takut itu akan mengganggu sekolah kamu.”
“Soal itu jangan khawatir deh, Ma. Sekolah Vira baek-baek aja kok. Vira jamin, Vira pasti selalu naek kelas dan lulus, lalu kuliah di perguruan tinggi. Tenang aja deh…,” jawab Vira sok yakin, padahal hatinya saat ini nggak seyakin ucapannya. Saat ini cuma satu yang ada dalam pikiran Vira: Gimana nasib gue saat ulangan matematika?
* * *
SMA Altavia adalah SMA swasta paling favorit di Bandung. Sekolah yang mempunyai gedung megah tiga lantai itu jadi incaran para lulusan SMP yang nggak keterima di SMA negeri. Banyak juga muridnya yang langsung memilih bersekolah di sini daripada masuk ke SMA negeri. Fasilitas SMA Altavia termasuk yang terlengkap di Bandung. Selain ruang kelas yang nyaman dilengkapi AC dan lift sebagai pengganti tangga di setiap lantai, tersedia juga berbagai macam laboratorium dan alat penunjang kegiatan belajar lainnya, mulai dari lab fisika, biologi, kimia, sampai lab komputer, lengkap dengan Internet-nya. Jangan ditanya fasilitas lain seperti perpustakaan yang modern, ruang olahraga berperalatan lengkap mirip tempat fitness kecil, juga ruang kesenian merangkap teater. Bahkan SMA Altavia punya gedung serbaguna besar, juga gedung olahraga kecil untuk berbagai kegiatan olahraga.
Karena fasilitas mewah dan lengkap itulah bayaran untuk sekolah di sini ngajubileh mahalnya. Uang masuknya saja puluhan juta, belum lagi SPP setiap bulannya yang bisa untuk bayar SPP di sekolah negeri selama setahun. Karena mahalnya, cuma kalangan tertentu yang bisa bersekolah di sini. Misalnya anak-anak orang kaya, anak pengusaha, ataupun anak pejabat. Salah satu di antara mereka adalah Savira Priskila,atau biasa dipanggil Vira. Status Vira sebagai anak direktur cabang Bank Central Buana, salah satu bank BUMN terbesar di Indonesia memudahkannya masuk ke SMA Altavia, dan diterima dalam pergaulan di sana. Bahkan
sekarang Vira termasuk salah satu “top girl” di SMA Altavia. Statusnya yang ketua geng cewek The Roses (yang merupakan bunga favorit Vira), atlet basket andalan sekolah, dan pengurus OSIS bidang olahraga membuatnya jadi salah satu “orang paling berpengaruh”, paling nggak di kalangan cewek-cewek SMA Altavia. Belum lagi kedekatannya dengan Robi, anak kelas 3IPA-2 dan putra ketua yayasan yang menaungi SMA Altavia, membuat Vira seakan jadi “Ratu” di sini.
Seperti juga hari ini. Begitu turun dari Peugeot 307 yang baru diperolehnya sebulan lalu sebagai hadiah ulang tahun, Vira disambut anggota The Roses lainnya, yaitu Stella, Diana, dan Lisa. Ditambah dengan Amel yang tadi menumpang mobilnya, lengkap deh seluruh anggota The Roses sekarang. Kecuali Vira dan Amel yang satu kelas di 2IPA-1, yang lain beda kelas. Stella dan Lisa di kelas 2IPS-2, serta Diana di kelas 2IPS-3.
“Kenapa, Vi?” tanya Stella melihat wajah Vira yang suntuk banget.
“Ada ulangan matematika jam pertama. Gue belum belajar nih! Mana masih ngantuk banget!” jawab Vira.
“Gue kirain ada apa. Lo sih kemaren semangat banget goyangnya. Jadi kecapean sendiri deh,” sahut Stella.
“Abis musiknya asyik sih! Pas banget buat goyang.”
“Tapi akibatnya sekarang…?”
“Udah… nggak usah dipikirin…,” potong Diana. “Guru matematika di kelas lo Pak Bachrudin, kan? Dia sih gampang. Asal lo deketin dia, nilai matematika ntar di rapor nggak bakal merah deh…,” lanjutnya.
“Deketin gimana maksudnya?” tanya Vira.
“Masa lo nggak tau? Atau pura-pura?” Diana malah balik bertanya.
“Gue bener-bener nggak tau. Lo tau, Mel?”
Amel hanya mengangkat bahu.
Vira menatap Diana dengan pandangan menyelidik. “Jadi maksud lo…,” gumam Vira.
“Pak Bachrudin kan cowok juga, Vi…,” tukas Diana.
“Ya ampun… Diana… Ogah!!”
“Kenapa? Kan demi nilai matematika lo juga.”
“Ya… tapi kalo sampe ngedeketin Pak Bachrudin demi nilai matematika, gue bisa dipotong hidup-hidup ama Robi…”
“Halah… Vi, paling cuman dipegang-pegang ama Pak Bachrudin yang udah es te we itu.”
Tiba-tiba Vira menatap tajam ke arah Diana. “Lo kok tau banyak sih soal Pak Bachrudin? Jangan-jangan lo…”
Diana cuma nyengir.
“Halah! Emang dasar lo aja yang ganjen,” sambung Vira.
“Udah-udah, nggak usah dibahas lagi!” Lisa yang dari tadi diamkut nyambung juga akhirnya.
“Oke deh, gue ke kelas dulu yaa… ntar istirahat kita ketemu di kantin. Yuk, Mel!”Ira segera menggamit tangan Amel, lalu beranjak menuju kelas mereka.
* * *
Ternyata hari ini emang hari sial bagi Vira. Nggak tahu, mimpi apa dia semalam sampai ketiban sial kayak gini. Setelah dua jam ulangan matematika yang bikin pusing dua belas keliling—hanya diselingi pelajaran PPKN—eh, pas pelajaran kimia, Bu Suwarni ikut-ikutan memberikan tes dadakanang dia sebut latihan soal. Penderitaan Vira bertambah saat jam istirahat, ternyata kantin sekolah tutup. Katanya, Bu Wati yang mengelola kantin sedang pulang kampung ke Subang menengok orangtuanya yang sakit. Padahal Vira udah ngebayangin bisa makan burger buatan Bu Wati yang enak. Untung aja senyum Robi saat ketemu dengannya bisa bikin hati Vira sedikit adem. Ngobrol dengan Robi juga bikin Vira sedikit melupakan kekesalan dan rasa ngantuknya.
* * *
“Vi…”
Vira yang lagi jalan ke mobilnya bareng Amel menoleh. Stella setengah berlari mendekatinya.
“Lo bener nggak latihan sore ini?” tanya Stella ke Vira.
“Iya… gue ngantuk berat nih. Mungkin gue bakal tidur sampe sore. Emang kenapa?”
“Kalo gitu, gue boleh pake kaus emas lo?” tanya Stella lagi. Kaus emas adalah lambang perhargaan bagi atlet basket SMA Altavia yang paling berprestasi. Kaus basket yang berwarna kuning keemasan dengan tulisan dan logo SMA ALTAVIA berwarna perak itu dipesan khusus dua buah. Satu untuk cowok, satu lagi untuk cewek. Mereka yang mendapat kaus emas berhak memakainya saat latihan selama enam bulan, sampai pemilihan berikutnya yang dilakukan pelatih basket SMA Altavia dan seluruh anak yang mengikuti ekskul basket, denga melihat siapa yang paling menonjol atau berprestasi selama enam bulan terakhir. Kalo ada lebih dari satu kandidat dengan jumlah suara sama, penentuan terakhir dilakukan dengan mengadakan pertandingan 1 on 1 antarkandidat. Siapa yang menang berhak mendapatkan kaus emas.
Sekarang Vira yang beruntung memakai kaus emas. Keberhasilannya membawa tim SMA Altavia juara di Turnamen Bola Basket Antar-SMA Se-Jawa-Bali bulan lalu serta merebut MVP dan top scorer membuat Vira mendapatkan kaus emas dengan suara jauh di atas kandidat lain, termasuk Stella yang sebetulnya bermain bagus di turnamen itu.
Vira menatap Stella, seolah heran, kenapa temannya bisa menanyakan pertanyaan bodoh kayak gini?
“Boleh aja kalo Pak Andryan dan temen-temen yang lain setuju. Tapi gue rasa mereka nggak bakal setuju. Lo harus ngerebut dulu kaus emas itu dari gue, baru boleh make itu. Lo kan tau…”
“He… he… he… gue kan cuman iseng doang. Tapi ntar malem lo tetep dateng, kan?”
“Dateng? Dateng ke mana?” Vira malah balik nanya.
Stella menatap tajam ke arah Vira. “Ya ampun! Gimana sih lo…” Lalu Stella beralih menatap Amel. Seperti biasa, Amel hanya mengangkat bahu.
“Apa sih?” tanya Vira.
“Tadi kan Diana ngundang kita ke pesta ultah sepupunya. Masa lo lupa?”
“Oya, sori. Gue nggak merhatiin pas Diana ngomong tadi.”
“Jadi, lo ikut, kan?”
“Iyalah… kan sesuai moto geng kita…”
BE PARTY, BE HAPPY!” sambung Stella lalu ketawa, sedang Vira dan Amel cuma tersenyum.
* * *
Pesta, clubbing, jalan-jalan di mal, shopping, dan sederet kegiatan fun lainnya. Itulah kegiatan rutin The Roses, di luar kegiatan sekolah mereka. Kelima cewek ini boleh dibilang “penguasa” SMA Altavia. Selebritis sekolah, walau mereka masih kelas 2. Selain Vira, ada Stella Winchest, cewek blasteran Indo-Inggris yang lima sentimeter lebih tinggi dari Vira, dan selalu bersaing menjadi yang terbaik di lapangan basket. Bokapnya yang orang Inggris sekarang tinggal di New York dan menjadi pialang saham yang sukses di Wall Street.
Ada juga Diana Riantanu, anak seorang pejabat pemerintah pusat, pimpinan sebuah instansi penting di Jakarta. Walau Diana hanya anak istri kedua si pejabat, tapi dia tetap mendapat limpahan materi dari bokapnya. Diana juga memiliki tubuh yang katanya paling seksi di antara anggota The Roses. Dan kayaknya dia tahu serta bisa memanfaatkan keseksiannya itu. Terbukti dengan hobinya yang suka gonta-ganti cowok (apa hubungannya?). Pokoknya kalau Diana bisa pacaran dengan seorang cowok lebih dari tiga bulan dan tetap setia selama masa pacarannya, Vira dan Stella bakal nyembah-nyembah dia. Oya, Diana juga ketua dan kapten tim ekskul Cheerleaders SMA Altavia, salah satu ekskul favorit cewek di sekoah mana pun. Klop deh ama pergaulannya yang “rada-rada bebas” itu.
Amelisa Ferianti. Teman sebangku Vira. Rumahnya juga nggak jauh dari rumah Vira, walau beda kompleks (itulah sebabnya Amel suka nebeng mobil Vira saat berangkat atau pulang sekolah). Dibanding anggota The Roses lainnya, Amel yang paling pendiam dan nggak banyak tingkah. Bahkan saking pendiamnya, kalau nggak ada yang ngajak ngomong duluan atau Amel-nya merasa nggak punya kepentingan, dia nggak bakal ngomong. Tapi walaupun pendiam dan kelihatan paling lemah dari yang lain, nggak ada anak SMA Altavia yang berani ngeganggu Amel atau macem-macem ke dia. Tentu aja, sebab bokapnya adalah seorang jenderal Angkatan Darat berbintang tiga yang sekarang menjabat komandan salah satu instansi militer strategis di Jakarta. Macem-macem dengan Amel, jangan heran kalau besoknya
berurusan dengan orang-orang berambut cepak dengan potongan ala militer. Mereka anak buah bokap Amel yang sedang bertugas di Bandung. Mungkin karena itulah para cowok di SMA Altavia agak-agak malas ngedeketin Amel, apalagi sampe pedekate. Bukan apa-apa, kalau nanti ternyata malah bikin Amel patah hati atau marah, apa nggak jadi repot urusannya tuh?! Dan kayaknya Amel sendiri juga nggak masalah soal nggak ada cowok yang berani dekin dia. Dia cuek-cuek aja tuh! Padahal menurut Vira, Amel sebetulnya lumayan cantik. Wajahnya lembut. Kalau saja Amel mau berdandan ala Diana. Vira yakin, pasti banyak cowok yang nekat mau deketin dia. Vira sendiri senang berteman dengan Amel karena selain rumahnya deket (bisa dijadiin teman ngobrol kalo berangkat dan pulang sekolah), juga karena otaknya lumayan encer (Amel-lah satu-satunya anggota The Roses yang rapornya nggak pernah ada angka merahnya, sedang yang lainnya… full colour!!). Dan ternyata Amel bisa jadi temen ngobrol yang asyik kok, asal diajak ngobrol duluan!
Lisa Wiryadinar, teman sebangku Stella. Bokapnya pemilik sebuah jaringan supermarket yang cabangnya udah tersebar di seluruh Indonesia. Boleh dibilang, masuknya Lisa ke The Roses hanya karena dia selalu bareng Stella sejak kelas 1. Vira yang dianggap sebagai “ketua geng” (walau mereka nggak pernah resmi mengangkat siapa yang jadi ketua) tentu nggak bisa menolak keinginan Stella, sama seperti Stella yang nggak bisa menolak keinginan Vira yang lebih dulu ngajak Amel bergabung ke dalam The Roses.
Karena latar belakang para anggota The Roses itulah geng ini dianggap paling “powerfull” di sekolah. Padahal ada juga geng-geng cewek lain di SMA Altavia, dari kelas 1 sampe kelas 3. Tapi mereka semua kalah pamor dari “para mawar” itu. Bahkan di kantin, mereka punya meja tersendiri dekat jendela, dekat kebun mawar yang ditanam di halaman sekolah. Kalau The Roses datang, meja itu harus dikosongin. Tentu aja kecuali yang duduk di situ adalah Robi dan teman-temannya. Untungnya Robi jarang nongkrong di kantin sekolah. Saat istirahat dia lebih suka maen basket di lapangan atau nongkrong bareng teman-temannya di dekat tempat parkir. Tempat itu jauh dari kantor guru, hingga mereka bisa ngerokok dengan bebas. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar