Powered By Blogger

Kamis, 01 Agustus 2013

LOVASKET 1

Luna Torashyngu

LOVASKET

TIGA
PESTA ulang tahun sepupu Diana berlangsung di Indiana, sebuah kafe yang terletak di daerah Setiabudi. Untuk pesta ultah ini kafe yang cukup luas dan mewah disewa penuh selama setengah hari, dari sore sampe malam. Nggak heran, sebab seperti Diana, sepupunya yang bernama Alia juga anak seorang pengusaha besar di Jakarta. Setelah sebelumnya selalu merayakan ulang tahunnya di Jakarta, tahun ini Alia ingin merayakan ulang tahunnya yang kedelapan belas di Bandung.
Suasana pesta sudah terlihat begitu mobil yang dikemudikan Vira memasuki lingkungan kafe Indiana. Nggak cuma dari deretan mobil (yang sebagian besar mobil mewah dan berplat nomor Jakarta) yang terparkir di setiap sudut tempat parkir (bahkan sebagian parkir di jalan, mengakibatkan Jalan Setiabudi sedikit macet), tapi juga dari irama musik dan kerlap-kerlip lampu yang sudah terlihat dari kejauhan.
“Bener-bener rame,” komentar Amel yang datang bareng Vira.
“Kayak tujuh belasan aja…,” gumam Vira.          
Untung saat Vira datang, sebuah mobil baru keluar dari tempat parkir, hingga mobil Vira langsung menempati tempat parkir yang ditinggalkan mobil tersebut.
Diana yang ada di depan kafe dan lagi ngobrol dengan seorang cowok, segera menyambut kedatangan Vira dan Amel.
“Halo, Sayaaang…,” sambut Diana sambil memeluk Vira dan sedikit cipika-cipiki. Hal yang sama dilakukannya ke Amel. Diana terlihat cantik malam ini, dengan gaun pink, warna
kesukaannya. Kontras banget dengan Vira yang pakai gaun hitam dan Amel dengan gaun abu-abu tua.
“Gue kira lo masih ketiduran,” kata Diana.
“Nggak lah… gue pasti inget. Masa gue lupa undangan lo…,” kata Vira, sementara Amel cuman senyam-senyum di sebelahnya. In fact, kalau bukan karena Amel nelepon ke HP Vira ngingetin acara ini, mungkin sampai sekarang Vira masih di alam mimpi.
“Stella ama Lisa mana?” tanya Vira.
“Ada tuh di dalem. Tadi sih gue liat lagi makan,” jawab Diana.
Vira melirik ke arah cowok yang tadi ngobrol dengan Diana. Vira belum pernah melihat cowok ini, tapi dia cute juga. Kebetulan, cowok itu juga lagi melihat ke arah Vira. Kayaknya juga lagi mengagumi kecantikan teman Diana yang satu ini.
“Siapa, Na?” tanya Vira.
“Eh iya, kenalin. Ini Fendi, temen sekelas Alia.” Diana memperkenalkan cowok itu.
“Fendi,” sapa si cowok sambil mengulurkan tangan.
Vira menyambut uluran tangan itu. “Vira.”
“Amel,” balas Amel saat gilirannya bersalaman dengan Fendi.
Kayaknya Fendi lebih tertarik pada Vira daripada Amel. Gelagatnya, dia pengin ngobrol banyak dengan Vira, tapi HP yang ada di saku celananya berbunyi.
“Sebentar ya…” ujar Fendi lalu sedikit menjauh dari ketiga cewek itu untuk menerima telepon.
“Andre nggak dateng, ya?” tanya Vira penuh selidik pada Diana, saat Fendi menjauh dari mereka.
“Kok lo tau?”
“Kalo ada Andre, lo nggak mungkin seganjen ini ama cowok lain.”
“Yeee… gue kan cuman mewakili Alia jadi tuan rumah yang baik,” elak Diana. “Tapi… Fendi lumayan juga sih,” sambungnya sambil cengar-cengir.
“Tuh kan…!” sergah Vira.
“Lagian dia tajir lho! Bokapnya punya pulau di Kepulauan Seribu. Dia udah ngundang gue liburan sana. Katanya pantainya indah banget. Gue bisa berjemur atau berenang di pantainya. Ada bungalonyajuga lho…”
“Kok lo mendadak jadi promosi gini sih?”
“He he he… gue kan cuman niruin kata-kata dia tadi,” jawab Diana sambil cengegesan. Mendadak dia pasang tampang serius, lalu bertanya, “Lo juga kenapa nggak ngajak Robi ke pesta ini? Hayoo… loe pengin ngelaba juga, kan?”
“Enak aja. Gue tadi udah ngajak Robi, tapi lo tau kan dia. Dia lebih seneng kumpul sama gengnya, kecuali kalo kenal banget ama yang ngadain acara,” jawab Vira tenang.
* * *
Pesta ulang tahun Alia berlangsung meriah. Kalau patokannya jumlah tamu, kafe Indiana ternyata penuh tuh.
Vira dan temannya yang lain awalnya menikmati pesta itu. Tapi lama-lama, Vira bosan sendiri. Selain anggota The Roses dan Alia, nggak ada lagi yang mereka kenal di tempat itu. Emang sih Vira dan yang lain sempat kenalan dengan beberapa cowok teman Alia, yang rata-rata berasal dari kalangan atas. Maklum, Alia juga sekolah di salah satu sekolah elite d Jakarta. Tapi cowok-cowok itu nggak ada yang bikin Vira betah ngobol lebih dari lima menit. Rata-rata cowok yang kenalan selalu ngobrol dengan topik standar, seperti alamatnya di mana, sekolah di mana, kelas berapa, dan lain-lain. Beberapa dari mereka juga langsung menunjukkan kenarsisan mereka dengan banyak cerita tentang diri atau kekayaan mereka (yang notabene masih milik ortu mereka). Mungkin untuk lebih menarik perhatian Vira, tapi itu justru bikin Vira tambah bete.
“Gue jadi inget Robi,” kata Vira pada Amel yang lagi duduk sambil menikmati brownies kukus. Ngeliat tingkah laku cowok-cowok di sini, Vira jadi teringat cowoknya itu. Robi terkesan pelit bicara kalau nggak perlu. Tapi Vira jadi mikir juga. Apa betul itu sikap Robi sebenarnya? Jangan-jangan Robi bersikap begiu di depan Vira aja. Kalau sama cewek lain, mungkin sikap Robi sama dengan cowok-cowok tadi.
“Kenapa, Vi?” Amel malah balik bertanya.
“Ah… nggak papa. Gue cuman boring aja ama suasana di sini. Gak seru, terlalu statis. Nggak ada jojingnya.”
Amel cuman manggut-mangut sambil melanjutkan mengunyah brownies.
Nggak berapa lama, Stella mendekati Vira. Dia mengenakan gaun putih dengan bordiran bunga di pinggirnya. Sekilas terlihat itu bordiran bunga anggrek.
“Steph udah nelepon lo?” tanya Stella ke Vira sambil minum segelas sirup di dekatnya.
“Steph? Stephanie maksud lo? Ngapain dia nelepon gue?” Vira malah balik bertanya.
“Jadi dia belum nelepon?”
“Belum. Ada apa?”
“Hmm… mungkin besok dia bakal bilang sendiri ke lo,” gumam Stella tanpa mengacuhkan pertanyaan Vira.
“Lo belum jawab pertanyaan gue. Ada apa?” tanya Vira lagi.
“Lo sih tadi gak latihan…”
“Stella!”
“Nggak… sebetulnya, Steph tadi bilang dia mo caonin lo sebagai ketua ekskul basket. Pemilihannya kan dua minggu lagi.”
“Ketua ekskul basket? Nggak salah?” tanya Vira nggak percaya.
“Kenapa?”
“Apa cewek bisa jadi ketua ekskul basket?” tanya Vira lagi. Dia lalu ingat, sejak ekskul basket ada di SMA Altavia, belum pernah cewek jadi ketua ekskul paling favorit di sekolah itu. Terakhir jabatan ketua dipegang Robi, yang sebentar lagi akan melepaskan jabatannya.
“Justru itu. Kali ini kita bikin sejarah. Prestasi tim basket kita kan lebih hebat daripada cowok. Jadi saatnya kita yang pegang ekskul basket. Lagi pula kata Steph, lo cocok banget jadi ketua. Lo pemain basket punya prestasi, juga cakep. Robi juga pasti akan ngedukung lo.” Stella menjelaskan panjang lebar.
“Stella… ini pemilihan ketua ekskul basket, bukan pemilihan model. Masa ketua ekskul harus cakep?”
“He… he… he… oke, kriteria cakep gue hapus. Tapi lo punya prestasi, kan?”
“Menurut gue sih jadi ketua ekskul basket nggak harus punya prestasi. Yang penting dia bisa berorganisasi dan ngatur ekskul ini dengan baik.”
“Halah… lo bisa aja. Tapi lo juga kepingin jadi ketua, kan?”
Vira nggak menjawab pertanyaan Stella. Nggak lama kemudian Lisa bergabung dengan mereka, duduk di sebelah Stella. Sementara Diana masih asyik ngobrol dengan Alia dan teman-temannya (yang kebanyakan cowok).
“Lagi pula, Vi, kalo lo jadi ketua ekskul basket, bukannya itu akan memperkuat posisi The Roses di sekolah? Sekarang ini Diana udah jadi ketua cheers. Dan Lisa jadi kandidat kuat ketua Kelsa (kelompok paduan suara SMA Altavia). Yah, walau gengsinya di bawah ekskul cheers atau basket, tapi lumayanlah…”
Lisa mendelik ke arah Stella, seolah nggak setuju dengan ucapan Stella bahwa ekskul paduan suara yang diikutinya gengsinya berada di bawah ekskul basket atau cheerleaders. Tapi Stella cuek saja.
“Tapi, apa para cowok itu rela kalo mereka dipimpin cewek?” tanya Vira masih ragu-ragu.
“Harus. Kalo mereka nggak rela, mereka harus nunjukin prestasi mereka seperti kita!” jawab Stella dengan semangat ’45. Kayak dia saja yang maju ke pemilihan ketua.
“Nggak taulah. Ntar gue ngobrol dulu ama Steph soal ini,” tandas Vira. Kelihatannya dia nggak bersemangat banget jadi ketua ekskul basket SMA Altavia.
“Emang kandidat tim cowok siapa sih?” tanya Lisa tiba-tiba. Pertanyaan biasa sih, tapi dalam suasana saat ini bikin Vira jadi tambah gerah.
“Katanya sih ada dua orang. Benny dan Irwan,” jawab Stella.
* * *
Baru saja Vira turun dari mobil di garasi rumahnya, ketika HP-nya berbunyi. Ternyata dari Stella.
“Ada apa, La?” tanya Vira.
“Vi, soal pencalonan ketua ekskul basket…”
“Ya ampun… lo masih mau ngebahas soal itu?”
“Bukan… bukan gitu. Lo bener nggak mau maju sebagai calon ketua basket?”
“Nggak. Gue males.”
“Kalo gitu…” Stella berhenti sejenak, seola ragu-ragu melanjutkan.
“Gimana kalo gue yang maju?”
* * *
Stella bilang, demi emansipai wanita dan keeksisan The Roses, dia bakal maju sebagai calon menggantikan Vira. Vira sih setuju-setuju saja, dan dia janji untuk ngomongin soal ini ke Stephanie, anak kelas 3IPA-3, kapten tim basket cewek.
Sepulang sekolah, Vira udah ditunggu Stella di tempat parkir. Ada juga Lisa dan Diana. Bareng Amel yang bersama Vira, lengkap udah formasi The Roses.
“Gimana?” tanya Stella nggak sabar. Dia memang menunggu kabar dari Vira yang pas jam istirahat tadi ngomong ke Stephanie.
Vira nyengir. “Tenang… kita cari dulu tempat yang asyik buat ngobrol. Ntar gue ceritain semua,” sahutnya.
“Mo ke mana, Vi?” tanya Diana.
“The Peak yuk! Gue udah lama nggak ke sana,” ajak Vira. Yang lain cuma lirik-lirikan karena nggak bisa menolak kemauan ketua geng mereka.
* * *
Kurang-lebih setengah jam kemudian, The Roses sudah duduk manis di teras The Peak. Gelas-gelas aneka minuman sudah berjajar di depan mereka.
“Gue tadi udah bicara lama ama Steph, sampe bel tanda masuk juga gak kedengeran saking serunya,” Vira memulai ceritanya. “Tentang gue yang nggak mau jadi ketua basket, juga tentang lo yang pengin maju jadi calon ketua,” lanjut Vira sambil menatap Stella.
“Trus, gimana tanggapan Steph? Dia ngedukung gue, kan?” tanya Stella.
“Sabar… dengerin dulu cerita gue.” Vira minum orange juice-nya dulu sebelum melanjutkan bercerita. “Ternyata Steph juga udah menduga gue nggak bakal mo mu. Dia juga udah denger Benny adalah kandidat kuat dari tim cowok. Karena itu sebetulnya Steph udah punya calon lain yang bakal dia ajuin saat latihan nanti.”
“Calon lain? Siapa?” tanya Stella. Dia sudah merasa calon itu bukanlah dirinya.
“Gita.”
“Gita? Nggak salah?” tanya Stella lagi.
“Emang kenapa kalo Gita jadi ketua basket, La?” tanya Diana. Pertanyaan itu juga yang sebetulnya akan diajukan Vira, tapi keduluan Diana.
“Gita kan selama ini jarang jadi starter. Dia tuh cadangan abadi. Kok bisa sih kayak gitu dicalonin jadi ketua basket?” sahut Stella dengan nada nggak percaya.
“Stella, gue kan udah bilang, nggak harus punya skill olahraga yang hebat untuk jadi ketua ekskul basket. Yang penting dia bisa mimpin dan berorganisasi. Gue rasa pilihan Steph nggak salah juga. Gita kan dulunya ketua OSIS saat SMP. Dia juga pernah jadi Sekretaris Mabim. Jadi dia udah pengalaman mimpin organisasi. Kita nggak mau kan punya ketua yang jago maen basketnya tapi nggak becus ngurus organisasi?”
“Tapi, Vi, kamu udah bilang ke Steph kalo Stella juga mo nyalonin diri, kan?” tanya Amel.
“Udah. Dan kata Steph sih, kalo Stella mo maju, ya maju aja. Ini kan pemilihan bebas. Semua anggota ekskul basket berhak mencalonkan diri.”
“Nah, La…” Diana menepuk pundak Stella, “lo maju aja. Pasti deh kita-kita bakal bantuin lo. Kalo The Roses udah bertindak, pasti nggak akan ada yang bisa menghalangi. Betul nggak, Vi?” lanjut Diana. Vira nggak menjawab, cuma tersenyum.
“Lo bakal dukung gue kalo gue maju nyalonin diri, kan?” tanya Stella penuh harap pada Vira.
Vira membalas tatapan mata Stella, lalu mengangguk pelan, walaupun dia sebetulnya ragu-ragu dengan tindakannya ini. 

LOVASKET 1

Luna Torashyngu

LOVASKET

DUA

HARI Seniiiin!!!
Ya, hari ini emang hari Senin, hari yang jadi awal kegiatan rutin sehari-hari, termasuk awal sekolah. Hari yang paling dibenci sebagian anak sekolah, nggak terkecuali Vira.
Vira malas banget bangun sepagi ini. Apalagi dia baru tidur jam dua pagi, sehabis clubbing di Fire.
Kenapa sih harus ada hari Senin? Kenapa harus ada upacara bendera yang bikin setiap siswa harus datang lebih pagi dari biasanya? Mau nggak mau, semua siswa harus datang lebih pagi kalau nggak ingin terpaksa ikut upacara bendera dari luar pagar sekolah. Soalnya kalau terlambat, selanjutnya bisa ditebak, mereka harus berhadapan dengan guru BP, dicatat nama dan kelasnya, dan diperingati untuk nggak terlambat lagi, atau hukuman yang lebih berat bakal menanti.
Dan kalau saja hari Senin ini nggak ada ulangan matematika, Vira lebih milih bolos. Ulangan matematika! Jam pertama, lagi! Kenapa sih harus ada pelajaran yang bikin kepala pusing seperti matematika, fisika, dan kawan-kawannya? Mana Vira nggak belajar tadi malam, lagi! (Iyalah, mana sempat dia belajar kalau dari pagi udah ngelayap bareng temen-temennya dan baru pulang jam dua dini hari?)
Suara HP Vira yang entah berada di mana membuatnya lebih membuka mata. Vira berhasil menemukan HP-nya yang ternyata berada di bawah bantal, hanya beberapa satu detik sebelum deringnya berhenti dan masuk mailbox.
“Halo…,” jawab Vira yang masih setengah sadar. “Iyaaa… Lo udah mandi? Iya… ntar gue jemput lo. Tunggu aja…,” katanya dengan suara mengantuk, lalu mengakhiri teleponnya. Vira melihat jam yang tertera di layar HP-nya. Jam setengah enam lewat. Dia harus cepat-cepat mandi kalau nggak mau terlambat sampai sekolah. Belum lagi melewati jalah-jalan di Bandung yang makin lama makin macet di pagi hari.
* * *
“Semalam kamu pulang jam berapa?” tanya mama Vira saat anaknya itu duduk di meja makan, memakan sandwich yang udah tersedia di situ.
“Jam dua belas juga udah pulang kok, Ma,” jawab Vira.
“Jangan bohong. Jam satu Mama bangun, kamu belum pulang. Kamu ke mana aja sih? Untung papamu sedang di luar kota. Kalo sampe papamu tau, kamu pasti kena marah.”
Vira diam mendengar ucapan mamanya.
“Trus, kenapa HP kamu dimatiin waktu Mama telepon?”
“Baterainya abis, Ma. Baru tadi pagi di-charge.”
“HP yang satu lagi?”
“Nggak dibawa.”
Mamanya hanya geleng-geleng sambil menatap Vira dengan tatapan nggak setuju atas apa yang dilakukan anaknya, clubbing hampir tiap malam sampai pagi. Dia emang nggak setuju, tapi juga nggak bisa menegur Vira terlalu keras. Takut Vira marah lalu ngambek. Maklum, Vira anak semata wayang yang lahir setelah tiga tahun perkawinan mereka. Karena itu Vira sangat dimanja sejak kecil, terutama oleh mamanya. Segala keinginannya selalu dituruti. Papanya baru bersikap agak keras saat Vira mulai menginjak remaja. Mungkin papanya takut, Vira akan terbawa pergaulan yang salah di masa remajanya.
“Mama kok ngeliatin Vira kayak gitu sih?” tanya Vira.
“Nggak. Mama cuman pengin kamu mengurangi kegiatan di luar sekolah. Jangan sering-sering keluar, apalagi keluar malam.”
“Mama… Apa Mama pengin Vira di rumah terus sepulang sekolah atau pas libur? Vira bisa jamuran, Ma…”
“Maksud Mama bukan begitu. Mama cuman minta agar kamu jangan terlalu sering keluar rumah hanya untuk main. Apalagi kalo ada Papa. Mama dan Papa takut itu akan mengganggu sekolah kamu.”
“Soal itu jangan khawatir deh, Ma. Sekolah Vira baek-baek aja kok. Vira jamin, Vira pasti selalu naek kelas dan lulus, lalu kuliah di perguruan tinggi. Tenang aja deh…,” jawab Vira sok yakin, padahal hatinya saat ini nggak seyakin ucapannya. Saat ini cuma satu yang ada dalam pikiran Vira: Gimana nasib gue saat ulangan matematika?
* * *
SMA Altavia adalah SMA swasta paling favorit di Bandung. Sekolah yang mempunyai gedung megah tiga lantai itu jadi incaran para lulusan SMP yang nggak keterima di SMA negeri. Banyak juga muridnya yang langsung memilih bersekolah di sini daripada masuk ke SMA negeri. Fasilitas SMA Altavia termasuk yang terlengkap di Bandung. Selain ruang kelas yang nyaman dilengkapi AC dan lift sebagai pengganti tangga di setiap lantai, tersedia juga berbagai macam laboratorium dan alat penunjang kegiatan belajar lainnya, mulai dari lab fisika, biologi, kimia, sampai lab komputer, lengkap dengan Internet-nya. Jangan ditanya fasilitas lain seperti perpustakaan yang modern, ruang olahraga berperalatan lengkap mirip tempat fitness kecil, juga ruang kesenian merangkap teater. Bahkan SMA Altavia punya gedung serbaguna besar, juga gedung olahraga kecil untuk berbagai kegiatan olahraga.
Karena fasilitas mewah dan lengkap itulah bayaran untuk sekolah di sini ngajubileh mahalnya. Uang masuknya saja puluhan juta, belum lagi SPP setiap bulannya yang bisa untuk bayar SPP di sekolah negeri selama setahun. Karena mahalnya, cuma kalangan tertentu yang bisa bersekolah di sini. Misalnya anak-anak orang kaya, anak pengusaha, ataupun anak pejabat. Salah satu di antara mereka adalah Savira Priskila,atau biasa dipanggil Vira. Status Vira sebagai anak direktur cabang Bank Central Buana, salah satu bank BUMN terbesar di Indonesia memudahkannya masuk ke SMA Altavia, dan diterima dalam pergaulan di sana. Bahkan
sekarang Vira termasuk salah satu “top girl” di SMA Altavia. Statusnya yang ketua geng cewek The Roses (yang merupakan bunga favorit Vira), atlet basket andalan sekolah, dan pengurus OSIS bidang olahraga membuatnya jadi salah satu “orang paling berpengaruh”, paling nggak di kalangan cewek-cewek SMA Altavia. Belum lagi kedekatannya dengan Robi, anak kelas 3IPA-2 dan putra ketua yayasan yang menaungi SMA Altavia, membuat Vira seakan jadi “Ratu” di sini.
Seperti juga hari ini. Begitu turun dari Peugeot 307 yang baru diperolehnya sebulan lalu sebagai hadiah ulang tahun, Vira disambut anggota The Roses lainnya, yaitu Stella, Diana, dan Lisa. Ditambah dengan Amel yang tadi menumpang mobilnya, lengkap deh seluruh anggota The Roses sekarang. Kecuali Vira dan Amel yang satu kelas di 2IPA-1, yang lain beda kelas. Stella dan Lisa di kelas 2IPS-2, serta Diana di kelas 2IPS-3.
“Kenapa, Vi?” tanya Stella melihat wajah Vira yang suntuk banget.
“Ada ulangan matematika jam pertama. Gue belum belajar nih! Mana masih ngantuk banget!” jawab Vira.
“Gue kirain ada apa. Lo sih kemaren semangat banget goyangnya. Jadi kecapean sendiri deh,” sahut Stella.
“Abis musiknya asyik sih! Pas banget buat goyang.”
“Tapi akibatnya sekarang…?”
“Udah… nggak usah dipikirin…,” potong Diana. “Guru matematika di kelas lo Pak Bachrudin, kan? Dia sih gampang. Asal lo deketin dia, nilai matematika ntar di rapor nggak bakal merah deh…,” lanjutnya.
“Deketin gimana maksudnya?” tanya Vira.
“Masa lo nggak tau? Atau pura-pura?” Diana malah balik bertanya.
“Gue bener-bener nggak tau. Lo tau, Mel?”
Amel hanya mengangkat bahu.
Vira menatap Diana dengan pandangan menyelidik. “Jadi maksud lo…,” gumam Vira.
“Pak Bachrudin kan cowok juga, Vi…,” tukas Diana.
“Ya ampun… Diana… Ogah!!”
“Kenapa? Kan demi nilai matematika lo juga.”
“Ya… tapi kalo sampe ngedeketin Pak Bachrudin demi nilai matematika, gue bisa dipotong hidup-hidup ama Robi…”
“Halah… Vi, paling cuman dipegang-pegang ama Pak Bachrudin yang udah es te we itu.”
Tiba-tiba Vira menatap tajam ke arah Diana. “Lo kok tau banyak sih soal Pak Bachrudin? Jangan-jangan lo…”
Diana cuma nyengir.
“Halah! Emang dasar lo aja yang ganjen,” sambung Vira.
“Udah-udah, nggak usah dibahas lagi!” Lisa yang dari tadi diamkut nyambung juga akhirnya.
“Oke deh, gue ke kelas dulu yaa… ntar istirahat kita ketemu di kantin. Yuk, Mel!”Ira segera menggamit tangan Amel, lalu beranjak menuju kelas mereka.
* * *
Ternyata hari ini emang hari sial bagi Vira. Nggak tahu, mimpi apa dia semalam sampai ketiban sial kayak gini. Setelah dua jam ulangan matematika yang bikin pusing dua belas keliling—hanya diselingi pelajaran PPKN—eh, pas pelajaran kimia, Bu Suwarni ikut-ikutan memberikan tes dadakanang dia sebut latihan soal. Penderitaan Vira bertambah saat jam istirahat, ternyata kantin sekolah tutup. Katanya, Bu Wati yang mengelola kantin sedang pulang kampung ke Subang menengok orangtuanya yang sakit. Padahal Vira udah ngebayangin bisa makan burger buatan Bu Wati yang enak. Untung aja senyum Robi saat ketemu dengannya bisa bikin hati Vira sedikit adem. Ngobrol dengan Robi juga bikin Vira sedikit melupakan kekesalan dan rasa ngantuknya.
* * *
“Vi…”
Vira yang lagi jalan ke mobilnya bareng Amel menoleh. Stella setengah berlari mendekatinya.
“Lo bener nggak latihan sore ini?” tanya Stella ke Vira.
“Iya… gue ngantuk berat nih. Mungkin gue bakal tidur sampe sore. Emang kenapa?”
“Kalo gitu, gue boleh pake kaus emas lo?” tanya Stella lagi. Kaus emas adalah lambang perhargaan bagi atlet basket SMA Altavia yang paling berprestasi. Kaus basket yang berwarna kuning keemasan dengan tulisan dan logo SMA ALTAVIA berwarna perak itu dipesan khusus dua buah. Satu untuk cowok, satu lagi untuk cewek. Mereka yang mendapat kaus emas berhak memakainya saat latihan selama enam bulan, sampai pemilihan berikutnya yang dilakukan pelatih basket SMA Altavia dan seluruh anak yang mengikuti ekskul basket, denga melihat siapa yang paling menonjol atau berprestasi selama enam bulan terakhir. Kalo ada lebih dari satu kandidat dengan jumlah suara sama, penentuan terakhir dilakukan dengan mengadakan pertandingan 1 on 1 antarkandidat. Siapa yang menang berhak mendapatkan kaus emas.
Sekarang Vira yang beruntung memakai kaus emas. Keberhasilannya membawa tim SMA Altavia juara di Turnamen Bola Basket Antar-SMA Se-Jawa-Bali bulan lalu serta merebut MVP dan top scorer membuat Vira mendapatkan kaus emas dengan suara jauh di atas kandidat lain, termasuk Stella yang sebetulnya bermain bagus di turnamen itu.
Vira menatap Stella, seolah heran, kenapa temannya bisa menanyakan pertanyaan bodoh kayak gini?
“Boleh aja kalo Pak Andryan dan temen-temen yang lain setuju. Tapi gue rasa mereka nggak bakal setuju. Lo harus ngerebut dulu kaus emas itu dari gue, baru boleh make itu. Lo kan tau…”
“He… he… he… gue kan cuman iseng doang. Tapi ntar malem lo tetep dateng, kan?”
“Dateng? Dateng ke mana?” Vira malah balik nanya.
Stella menatap tajam ke arah Vira. “Ya ampun! Gimana sih lo…” Lalu Stella beralih menatap Amel. Seperti biasa, Amel hanya mengangkat bahu.
“Apa sih?” tanya Vira.
“Tadi kan Diana ngundang kita ke pesta ultah sepupunya. Masa lo lupa?”
“Oya, sori. Gue nggak merhatiin pas Diana ngomong tadi.”
“Jadi, lo ikut, kan?”
“Iyalah… kan sesuai moto geng kita…”
BE PARTY, BE HAPPY!” sambung Stella lalu ketawa, sedang Vira dan Amel cuma tersenyum.
* * *
Pesta, clubbing, jalan-jalan di mal, shopping, dan sederet kegiatan fun lainnya. Itulah kegiatan rutin The Roses, di luar kegiatan sekolah mereka. Kelima cewek ini boleh dibilang “penguasa” SMA Altavia. Selebritis sekolah, walau mereka masih kelas 2. Selain Vira, ada Stella Winchest, cewek blasteran Indo-Inggris yang lima sentimeter lebih tinggi dari Vira, dan selalu bersaing menjadi yang terbaik di lapangan basket. Bokapnya yang orang Inggris sekarang tinggal di New York dan menjadi pialang saham yang sukses di Wall Street.
Ada juga Diana Riantanu, anak seorang pejabat pemerintah pusat, pimpinan sebuah instansi penting di Jakarta. Walau Diana hanya anak istri kedua si pejabat, tapi dia tetap mendapat limpahan materi dari bokapnya. Diana juga memiliki tubuh yang katanya paling seksi di antara anggota The Roses. Dan kayaknya dia tahu serta bisa memanfaatkan keseksiannya itu. Terbukti dengan hobinya yang suka gonta-ganti cowok (apa hubungannya?). Pokoknya kalau Diana bisa pacaran dengan seorang cowok lebih dari tiga bulan dan tetap setia selama masa pacarannya, Vira dan Stella bakal nyembah-nyembah dia. Oya, Diana juga ketua dan kapten tim ekskul Cheerleaders SMA Altavia, salah satu ekskul favorit cewek di sekoah mana pun. Klop deh ama pergaulannya yang “rada-rada bebas” itu.
Amelisa Ferianti. Teman sebangku Vira. Rumahnya juga nggak jauh dari rumah Vira, walau beda kompleks (itulah sebabnya Amel suka nebeng mobil Vira saat berangkat atau pulang sekolah). Dibanding anggota The Roses lainnya, Amel yang paling pendiam dan nggak banyak tingkah. Bahkan saking pendiamnya, kalau nggak ada yang ngajak ngomong duluan atau Amel-nya merasa nggak punya kepentingan, dia nggak bakal ngomong. Tapi walaupun pendiam dan kelihatan paling lemah dari yang lain, nggak ada anak SMA Altavia yang berani ngeganggu Amel atau macem-macem ke dia. Tentu aja, sebab bokapnya adalah seorang jenderal Angkatan Darat berbintang tiga yang sekarang menjabat komandan salah satu instansi militer strategis di Jakarta. Macem-macem dengan Amel, jangan heran kalau besoknya
berurusan dengan orang-orang berambut cepak dengan potongan ala militer. Mereka anak buah bokap Amel yang sedang bertugas di Bandung. Mungkin karena itulah para cowok di SMA Altavia agak-agak malas ngedeketin Amel, apalagi sampe pedekate. Bukan apa-apa, kalau nanti ternyata malah bikin Amel patah hati atau marah, apa nggak jadi repot urusannya tuh?! Dan kayaknya Amel sendiri juga nggak masalah soal nggak ada cowok yang berani dekin dia. Dia cuek-cuek aja tuh! Padahal menurut Vira, Amel sebetulnya lumayan cantik. Wajahnya lembut. Kalau saja Amel mau berdandan ala Diana. Vira yakin, pasti banyak cowok yang nekat mau deketin dia. Vira sendiri senang berteman dengan Amel karena selain rumahnya deket (bisa dijadiin teman ngobrol kalo berangkat dan pulang sekolah), juga karena otaknya lumayan encer (Amel-lah satu-satunya anggota The Roses yang rapornya nggak pernah ada angka merahnya, sedang yang lainnya… full colour!!). Dan ternyata Amel bisa jadi temen ngobrol yang asyik kok, asal diajak ngobrol duluan!
Lisa Wiryadinar, teman sebangku Stella. Bokapnya pemilik sebuah jaringan supermarket yang cabangnya udah tersebar di seluruh Indonesia. Boleh dibilang, masuknya Lisa ke The Roses hanya karena dia selalu bareng Stella sejak kelas 1. Vira yang dianggap sebagai “ketua geng” (walau mereka nggak pernah resmi mengangkat siapa yang jadi ketua) tentu nggak bisa menolak keinginan Stella, sama seperti Stella yang nggak bisa menolak keinginan Vira yang lebih dulu ngajak Amel bergabung ke dalam The Roses.
Karena latar belakang para anggota The Roses itulah geng ini dianggap paling “powerfull” di sekolah. Padahal ada juga geng-geng cewek lain di SMA Altavia, dari kelas 1 sampe kelas 3. Tapi mereka semua kalah pamor dari “para mawar” itu. Bahkan di kantin, mereka punya meja tersendiri dekat jendela, dekat kebun mawar yang ditanam di halaman sekolah. Kalau The Roses datang, meja itu harus dikosongin. Tentu aja kecuali yang duduk di situ adalah Robi dan teman-temannya. Untungnya Robi jarang nongkrong di kantin sekolah. Saat istirahat dia lebih suka maen basket di lapangan atau nongkrong bareng teman-temannya di dekat tempat parkir. Tempat itu jauh dari kantor guru, hingga mereka bisa ngerokok dengan bebas. 

LOVASKET 1

Luna Torashyngu

LOVASKET


SATU

5… 4… 3… 2… 1…
Bersamaan dengan suara bel tanda berakhirnya pertandingan yang menggema di Gedung Basket Senayan, Jakarta, puluhan penonton langsung masuk lapangan. Sebagian besar penonton yang masuk ke lapangan itu adalah suporter tim basket cewek SMA Altavia yang baru memastikan diri sebagai yang terbaik dalam Turnamen Bola Basket Antar-SMA Se-Jawa-Bali, setelah di final berhasil mengalahkan juara tahun lalu, SM Ardhira, Jakarta, dengan skor yang sangat tipis, 77 – 76.
Kubu SMA Altavia pantas bergembira. Kemenangan ini diperoleh dengan perjuangan berat, dan merupakan prestasi tertinggi tim basket SMA Altavia setelah tahun sebelumnya hanya bisa bertahan hingga babak semifinal. Prestasi tim basket cewek ini jauh lebih baik daripada tim cowoknya yang bahkan udah keok di babak penyisihan grup.
“Vira… Vira…”
Panggilan itu terdengar di antara riuh kegembiraan tim SMA Altavia dan para suporternya. Nama yang dielu-elukan itu milik salah satu pemain SMA Altavia yang malam ini jadi bintang lapangan dengan menyumbang angka terbanyak bagi kemenangan timnya. Walau tubuhnya agak kurus dengan tinggi sekitar 170 sentimeter, Vira mampu bersaing melawan pemain-pemain SMA lain yang badannya lebih gede. Selama turnamen, dialah bintang SMA Altavia sekaligus calon pemain terbaik, atau lebih ngetop disebut Most Valuable Player (MVP) dan top scorer di turnamen ini.
“Ternyata kekhawatiran lo nggak terbukti, kan?” ujar Stella, teman setim Vira.
“Iya,” jawab Vira pendek.
“Berarti lo kalah taruhan…”
“Gue tau. Sampe di Bandung, lo dan yang lain boleh dugem sepuasnya. Gue yang bayarin,” sahut Vira sambil mengelap keringatnya untuk yang kesekian kali.
“Haruslah! Dan kayaknya nggak cukup itu aja…”
“Maksud lo?”
“Lo kan bakal terpilih jadi MVP dan top scorer, jadasti dapet duit tambahan. Parfum gue abis nih, dan gue pengin nyoba pake Calvin Klein, soalnya belum pernah.”
“Dasar matre lo!”
Stella cuma nyengir.
“Halah… sekali-sekali bagi-bagi rezeki kenapa sih, Non? Cuman buat gue kok! Nggak bakal gue kasih tau ke yang lain. Oke?”

“Liat ntar deh…” 

Minggu, 03 Maret 2013

Tips naek angkot yang aman buat cewek :



  •      Pas naik angkot, pegang pintunya. Naiknya pelan-pelan, jangan sok manja pake minta ditolongin supirnya
  •        Kalau supir nanya “mau kemana mbak?” jangan dijawab “mau ke hatimu” (bikin supir galau ajah)
  •        Walau narsis jangan sampai ngajak supirnya foto bareng, apalagi pake upload tu foto ke facebook
  •        Naik angkot gak perlu dandan cantik. Biasa aja. Soalnya Cuma di sinetron kita bisa menemukan sopir angkot ganteng
  •        Pas supir mau pindahin gigi, gak usah sok romantic pake pegang tangan dan tatap matanya
  •        Kalau duduk dibelakang supir gak usah tiba-tiba nutup matanya trus bilang “tebak, aku siapa?” (sumpah gak banget..)
  •        Kalau supir sampai tujuan, ucapkan “kiri pir..” jangan bilang “kiri beib..” (inget loh! )
  •        Sepenuh apapun angkotnya jangan duduk di pangkuan supir. Pokoknya jangan!
  •        Terakhir dan terpenting kalau terima uang kembalian, terima aja, gak usah pake cium tangan segala


Senin, 28 Januari 2013

Halo ! sesuai dengan janji saya , kali ini saya akan menge-post novel Ilana Tan dalam bentuk pdf ..
summer in seoul = https://docs.google.com/file/d/0B89jFpgWUXV0cGtDOUpaZFh2Z2M/edit
autumn in paris = https://docs.google.com/file/d/0B89jFpgWUXV0cXBHX0ZTc3BqTDA/edit
winter in tokyo = https://docs.google.com/file/d/0B89jFpgWUXV0MzkxRzBZUFBtR0k/edit
spring in london = https://docs.google.com/file/d/0B89jFpgWUXV0VjVIWG1qYjJWelk/edit
atau kalian bisa mendownload ini di scribd.com (lebih mudah)
summer in seoul = http://www.scribd.com/doc/122553735/Summer-In-Seoulautumn in paris
autumn in paris = http://www.scribd.com/doc/122554533/Autumn-in-paris
winter in tokyo = http://www.scribd.com/doc/122554920/Winter-in-tokyo
spring in london = http://www.scribd.com/doc/122555141/Spring-in-london

Maaf ya , untuk sunshine becomes you -nya belum bisa saya berikan, mungkin lain waktu . Oh yaa, untuk mendownload-nya secara free , kalian bisa pilih more dan kemudian klik downlooad , okee selamat membaca, dan alangkah lebih baik juga jika kalian membeli versi original bukunya , terimakasih :)

Minggu, 27 Januari 2013

Karya Ilana Tan

Novel karya Ilana Tan
Novel pertamanya berjudul “Summer in Seoul”, novel keduanya berjudul “Autumn in Paris”, novel ketiganya berjudul “Winter in Tokyo” dan novel keempatnya berjudul “Spring in London”. Masing-masing novel diceritakan di kota-kota besar di dunia; Seoul (Korea Selatan), Paris (Prancis), Tokyo (Jepang), dan London (Inggris).Dan masing-masing novel diceritakan di musim yang berbeda; Summer (musim panas), Autumn (musim gugur), Winter (musim dingin), dan Spring (musim semi).
dan novelnya yang berjudul "Sunshine Becomes You" , berisi tentang kisah yang sederhana namun dikupas dengan suasana yang luar biasa (itu menurutku) .

"Masing-masing penulis memiliki cara tersendiri dalam menulis. Aku pun begitu. Aku tidak membuat rencana atau kerangka ketika menulis. Satu cerita hanya diawali satu ide sederhana, lalu aku menunggu ide itu berkembang dengan sendirinya. Aku mengamati ke mana alur cerita itu mengalir dan menulis mengikuti aliran itu. Aku tidak pernah menyuruh tokoh-tokohku melakukan tindakan tertentu atau mengucapkan kata-kata tertentu. Aku hanya menempatkan mereka dalam suatu keadaan, lalu melihat apa yang mereka lakukan dan apa yang akan mereka katakan. Karena ini kisah mereka, bukan kisahku." komentar Ilana Tan mengenai Novelnya yang aku temukan dalam sebuah blog .
Aku akan menyajikan novel tetralogi 4 musim nya dalam bentuk .pdf  , namun alangkah baiknya jika teman teman membeli versi original bukunya , terimakasih :)

the Beginning . . .

halo ! Namaku Indra, dan ini blog pertamaku, salam kenal .. Aku kelahiran 9 april di tahun 1997, sekarang bersekolah di SMA N 1 Boyolali, dua bersaudara dan bertempat tinggal di perbatasan Kabupaten Boyolali dan Klaten . Aku kelas 1 atau yang sekarang lebih dikenal dengan kelas X , mengikuti ekstrakulikuler "English Club" , hobby bernyanyi dan menyukai novel . Aku sangat menyukai novel novel karya Ilana Tan, dan jika kalian ada yang tertarik dan tidak sempat membeli bukunya, akan aku post-kan versi .pdf nya .  Sekian dulu ya, Sampai jumpa :)